Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tujuh Potensi Kerugian Ekonomi Apabila Legalitas Lahan Sawit Tak Segera Usai

Tujuh Potensi Kerugian Ekonomi Apabila Legalitas Lahan Sawit Tak Segera Usai Kredit Foto: Antara/Basri Marzuki
Warta Ekonomi, Jakarta -

Masalah legalitas maupun ketidakpastian hukum terkait perkebunan sawit Indonesia berefek domino pada banyak hal. Salah satunya adalah kerugian ekonomi bagi Indonesia.

Sebagai sektor strategis nasional, kerugian ekonomi yang ditimbulkan terkait pekerjaan rumah yang masih belum selesai di perkebunan sawit itu bisa berdampak pada banyak hal. Baik secara nasional, keseluruhan, pemerintah, ekonomi daerah, pelaku usaha, termasuk kebun sawit rakyat itu sendiri.

Lantas, apa potensi kerugian dari ekonomi yang ditimbulkan apabila masalah legalitas dan ketidakpastian hukum masih menggelayuti industri sawit nasional?

Dilansir dari laman Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Minggu (8/12/2024) ada tujuh potensi kerugian ekonomi yang ditimbulkan apabila permasalahan ini masih berbuntut panjang.

Baca Juga: Ancaman 'Silent Killer' di Kebun Sawit

Pertama, otomatis akan memperburuk citra industri sawit nasional dalam perdagangan dunia.

Pasalnya, legalitas proses produksi dari suatu produk telah menjadi perhatian konsumen global, khususnya dalam perdagangan modern. Apabila proses produksi suatu produk atau komoditas negara asal tidak mengantongi legalitas yang valid, maka produk tersebut akan dikategorikan sebagai produk illegal.

“Misalnya dalam kebijakan Uni Eropa (EUDR), selain harus bebas deforestasi dan degradasi hutan, kebijakan tersebut juga mempersyaratkan legalitas proses produksi di negara asal. Dengan masalah legalitas tersebut ditambah lagi dengan ketidakpastian hukum perkebunan sawit Indonesia, akan semakin memperburuk citra sawit Indonesia di pasar dunia,” tulis PASPI.

Dampak yang kedua yakni melemahkan serta mempersulit keberterimaan internasional sertifikasi sawit berkelanjutan baik ISPO, ISO, hingga RSPO. 

Hal ini dikarenakan salah satu prinsip dalam tata kelola sawit berkelanjutan yakni bermuara dari aspek legalitas dan kepastian hukum perkebunan sawit itu sendiri. 

Untuk diketahui, berdasarkan monitor PASPI, sertifikasi sawit berkelanjutan seperti ISPO selama ini sulit untuk memperoleh keberterimaan maupun pengakuan di pasar dunia negara importir.

“Patut diduga salah satu penyebabnya adalah masalah legalitas dan ketidakpastian hukum secara traceability perkebunan sawit,” ungkap PASPI dalam catatannya.

Sementara itu yang ketiga adalah risiko bisnis sawit dari hulu ke hilir yang kian meningkat. Secara langsung, masalah legalitas dan ketidakpastian hukum perkebunan sawit ini menjadi PR tambahan sekaligus risiko anyar pada perkebunan sawit serta rantai pasok dari hulu ke hilir.

Apalagi, Uni Eropa telah memberi label negatif terhadap sawit sebagai high risk commodity. Alhasil, hal tersebut menyumbang PR tambahan yang harus diselesaikan. Pasalnya, tambahan risiko tersebut menjadi biaya premi risiko dalam transaksi kredit investasi hulu-hilir, transaksi Bussiness to Bussiness (B to B), dan pada pasar saham perusahaan sawit yang listed di pasar modal.

Keempat, masalah legalitas dan sederet masalah lainnya di perkebunan sawit bisa merugikan pemerintah pusat dan daerah. 

Di sisi lain, masalah legalitas bisa berimplikasi pada nihilnya basis penerapan kewajiban perpajakan seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Hal ini tentunya bisa merugikan penerimaan pemerintah pusat maupun daerah.

Lebih lanjut masalah yang kelima adalah menurunkan minat investasi baru dan reinvestasi pada perusahaan sawit. Pasalnya, untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menurunkan biaya produksi secara berkelanjutan, diperlukan investasi baru atau reinvestasi seperti pada kegiatan replanting, land and irrigation improvement, inovasi, dan lain-lain.

“Adanya masalah legalitas dan ditambah dengan ketidakpastian hukum perkebunan sawit membuat perusahaan perkebunan sawit mengalami disinsentif untuk melakukan investasi atau reinvestasi pada perkebunan sawit itu sendiri,” jelas PASPI.

Keenam, masalah tersebut bisa menghambat beberapa program pengembangan sawit rakyat misalnya Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting, penyaluran bantuan Sarana dan Prasarana (sarpras) perkebunan sawit, serta sertifikasi sawit rakyat itu sendiri.

Program PSR dan bantuan Sarpras ini pelik lantaran program tersebut berbasiskan kelengkapan legalitas kebun sawit. Kendati dananya berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Dikutip dari data BPDPKS pada tahun 2023 lalu, data realisasi PSR dan Sarpras menunjukkan cakupan yang relatif rendah. Adapun salah satu penyebab utama dari rendahnya realisasi program tersebut berkaitan dengan masalah legalitas kebun sawit rakyat itu sendiri.

Baca Juga: Tutur Inspiratif Perjalanan Siti Marfuah Memberdayakan Petani Kelapa Sawit

“Demikian juga dengan sertifikasi ISPO yang mempersyaratkan legalitas kebun sawit yang “clear and clean”. Persyaratan tersebut juga menjadi penghambat realisasi sertifikasi ISPO di perkebunan sawit rakyat yang relatif rendah dan stagnan. Hal ini juga disebabkan karena masalah legalitas yang “membelenggu” kebun sawit rakyat,” ungkap PASPI.

Terakhir, masalah legalitas di kebun sawit bisa membatasi akses petani sawit pada lembaga keuangan maupun kerja sama bisnis (B to B/B2B).

Pasalnya, lembaga keuangan baik bank maupun non-bank, serta lembaga bisnis modern, menuntut adanya kelengkapan berkas legalitas. Jika masalah legalitas ini masih belum jelas, otomatis petani sawit tidak memiliki akses pada lembaga pembiayaan maupun kerja sama dengan lembaga lainnya.

Alhasil, PASPI menegaskan bahwa ketujuh hal tersebut bisa menciptakan snowball effect atau efek bola salju pada kinerja industri sawit nasional secara keseluruhan di bawah kinerja optimalnya.

“Produksi, penyerapan tenaga kerja, pendapatan rakyat, ekspor, devisa negara, penerimaan pemerintah pusat/daerah, dan lain-lain berada dibawah level yang seharusnya (sub-optimal). Selain dibawah level optimal, industri sawit nasional juga terperosok pada industri high-risk serta mengancam daya saing dan sustainability industri sawit nasional secara keseluruhan,” jelas lembaga kajian tersebut.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: