Mendekati tahun politik menuju Pemilu 2024, politik identitas di Jawa Barat tercatat cenderung menurun. Meskipun demikian, tetap diperlukan langkah strategis dari pemerintah daerah dan masyarakat, untuk melakukan pencegahan. Pasalnya, tidak tidak menutup kemungkinan seiring mendekati Pemilu, isu politik identitas dapat kembali mencuat.
"Jawa Barat kita lihat data di 2019 politik identitas cenderung naik. Di 2022 angkanya turun. Kita tahu politik belum panas, tapi sangat mungkin bila semakin mendekati 2024 intoleransi bisa meningkat. Tapi dengan catatan tidak ada upaya dari pemerintah, maupun masyarakat sendiri untuk membatasi isu politik identitas digunakan memobilisasi orang menjelang Pemilu," jelas Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI), Rizka Halida, kepada wartawan di Bandung, Kamis (8/6/2023).
Sementara itu, intoleransi dan kekerasan ekstrem masih menjadi hambatan besar di Indonesia, yang padahal masyarakatnya plural dan terdiri dari beragam agama, suku, dan budaya.
Demikian pula di Jawa Barat, dari hasil survei yang dilakukan LSI pada 16-29 Mei 2023 lalu, dengan melibatkan 600 responden terbagi dari 27 kota/kabupaten, hasilnya ternyata masih ada yang mendukung kekerasan ekstrem dan organisasinya, meski tidak terlalu signifikan.
Dukungan terhadap kekerasan ekstrem dan organisasi kekerasan ekstrem tidak begitu menonjol. Namun terhadap organisasi intoleran, nyatanya cukup berimbang antara yang mendukung dan tidak. Persoalan ini, kata dia, patut diwaspadai, karena dapat menjadi ancaman.
"Secara umum, bukan mayoritas. Tapi ada poin yang perlu kita jadikan perhatian, cukup banyak yang mendukung dalam bentuk pergi berperang ke negara lain untuk membela agama. Artinya masih sangat potensial untuk dijadikan target yang ingin merekrut orang ke Suriah," ungkap Rizka.
"Kemudian dukungan terhadap organisasi yang mengampanyekan intoleransi, sampai saat ini tinggi pengetahuannya tapi dukungan berimbang antara setuju dan tidak setuju. Ada 45 persen yang setuju dan tidak setuju," imbuhnya.
Rizka menyebutkan hasil ini belum sepenuhnya dapat menjadi tolok ukur, mengingat 27 kota/kabupaten di Jawa Barat memiliki karakteristik tersendiri, merujuk dari sejarah masa lalu masing-masing kawasan tersebut.
"Temuan ini perlu dilihat perwilayah. Secara umum wilayah tidak setuju dengan kekerasan ekstrem, tapi ada wilayah yang bisa dikaji lebih lanjut. Ada wilayah di masa lalu yang sejarahnya potensial, mendukung kekerasan ekstrem," katanya.
Sedangkan, potensi ancaman lain yang harus diwaspadai Jawa Barat dari hasil survei adalah tingginya kelompok muda yang mendukung adanya regresif gender, berbeda dengan kelompok usia lain yang cenderung lebih netral. Contoh regresif gender, kata dia, terkait wajar atau tidak perempuan berpergian sendiri, hingga kepala daerah perempuan.
"Kelompok muda cukup banyak yang mendukung juga persetujuan norma gender yang regresif. Mayoritas masih setuju dan di Jawa Barat cenderung setuju dibanding kelompok usia lain," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Dosen Komunikasi Politik Universitas Padjajaran Firman Manan mengatakan hasil yang ditemukan oleh LSI tidak dapat sepenuhnya dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.
Selain itu, dalam melakukan kajian juga harus dipertimbangkan kultur masing-masing daerah. Kekerasan di Jawa Barat tidak bisa diselesaikan di level provinsi dengan 27 kabupaten/kita yang punya karakteristik heterogen.
"Kami membagi dalam enam subkultur, ada sub urban plural, seperti Bandung Raya, Sumedang, Depok, Bogor, dan Bekasi. Lalu ada klaster Priangan Barat, Sukabumi, Cianjur. Priangan Timur, Garut, Tasikmalaya, Pangandaran, klaster Ciayumajakuning dan sub urban Karawang, Purwakarta, Subang. Karakteristik beda, harus hati-hati dalam memetakan," jelasnya.
Demikian pula responden kelompok usia muda, yang menurutnya terdapat perbedaan karakteristik antara perkotaan dan desa sehingga dibutuhkan metode yang tentunya harus berbeda pula.
"Warga usia muda di kota dan desa, ada karakteristik berbeda. Treatment berbeda. Sosial media asumsinya banyak diakses kelompok muda. Tapi fenomena (hanya) di perkotaan," ujarnya.
Menjelang tahun politik, kata Firman, tidak ada yang mendominasi secara berturut-turut di setiap kontestasi Pemilu. Hal ini disebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
Baca Juga: Mantan Rektor ini Tuding Ganjar Lakukan Politik Identitas, Disertakan Bukti...
Kondisi ini juga diakuinya menjadi magnet tersendiri bagi parpol, sebab semua kontestan memiliki peluang yang sama, dalam meraup swing voter Jabar. Terlebih dengan jumlah penduduk hampir 50 juta jiwa, atau sekitar 17,5 persen pemilih untuk skala nasional.
"Party id rendah. Tidak ada kekuatan dominan. Jabar jadi rebutan kekuatan politik. Siapa pun punya peluang. Kita punya pengalaman, beberapa tahun politik ada mobilisasi tentang isu yang mendorong intoleran meningkat. Pilgub 2018, isu sentimental keagamaan muncul. Ini harus diantisipasi di tahun politik, karena dinamika politik yang meningkat kemungkinan akan ada isu seperti ini," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait:
Advertisement