Kalau Keukeuh dengan Sistem Pemilu Tertutup, 53 Persen Publik akan Lakukan Protes
Mayoritas Publik (53 persen) yang menolak jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan sistem Pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup akan melakukan protes.
Demikian hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bertajuk “Sikap Publik Terhadap Gugatan Sistem Pemilu” yang digelar pada 30-31 Mei 2023 melalui telepon.
Direktur Riset SMRC, Deni Irvani menunjukkan sekitar 24 persen warga yang tahu bahwa sistem pemilihan proporsional terbuka sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi agar diubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Baca Juga: Sukseskan Pemilu 2024, Hercules Ikrarkan Tokoh Ulama Jadi Dewan Penasihat DPP GRIB Jaya
“Dari yang tahu, 64 persen (atau 15 persen dari total populasi) menyatakan menolak jika MK mengabulkan gugatan tersebut dan sistem pemilihan menjadi tertutup,” kata dia.
“Yang mendukung hanya 31 persen atau 7 persen dari total populasi. Masih ada 5 persen yang belum berpendapat. Sikap mayoritas warga yang menolak MK mengabulkan sistem proporsional tertutup ini konsisten dalam dua kali survei (Februari dan Mei 2023),” tambahnya.
Deni melanjutkan bahwa dari 15 persen warga yang menolak jika MK mengabulkan sistem pemilihan menjadi tertutup tersebut, ada 53 persen (8 persen dari total populasi) yang menyatakan akan melakukan protes secara terbuka.
Dari yang akan protes, sekitar 70 persen (6 persen dari populasi) menyatakan akan protes di media sosial (instagram, youtube, tiktok, twitter, dll.), dan ada 22 persen (2 persen dari populasi) yang akan protes dengan ikut demonstrasi turun ke jalan.
Pemilihan sampel dalam survei ini dilakukan melalui metode random digit dialing (RDD). RDD adalah teknik memilih sampel melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak.
Survei terakhir dilakukan pada 30-31 Mei 2023 dengan sampel sebanyak 909 responden dipilih melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak.
Margin of error survei diperkirakan ±3.3% pada tingkat kepercayaan 95%, asumsi simple random sampling. Wawancara dengan responden dilakukan lewat telepon oleh pewawancara yang dilatih.
Deni menjelaskan bahwa “pemilih kritis” adalah pemilih yang punya akses ke sumber-sumber informasi sosial-politik secara lebih baik karena mereka memiliki telepon atau cellphone sehingga bisa mengakses internet untuk mengetahui dan bersikap terhadap berita-berita sosial-politik.
Baca Juga: Gara-gara Sebut Pemilu Proporsional Tertutup Tak Buat Negara Bubar, MPR Tuduh BPIP Cawe-cawe
Mereka umumnya adalah pemilih kelas menengah bawah ke kelas atas, lebih berpendidikan, dan cenderung tinggal di perkotaan.
Mereka juga cenderung lebih bisa memengaruhi opini kelompok pemilih di bawahnya. Total pemilih kritis ini secara nasional diperkirakan 80%.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty
Tag Terkait:
Advertisement