Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gara-gara Sebut Pemilu Proporsional Tertutup Tak Buat Negara Bubar, MPR Tuduh BPIP Cawe-cawe

Gara-gara Sebut Pemilu Proporsional Tertutup Tak Buat Negara Bubar, MPR Tuduh BPIP Cawe-cawe Kredit Foto: MPR
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid (HNW), menilai Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Karjono, melakukan cawe-cawe melalui statmennya yang menyebut sistem pemilu proporsional tertutup tidak akan membuat negara bubar.

HNW menilai pernyataan tersebut tidak sejalan dengan tahun politik sekarang ini. Pasalnya, lanjut dia, sistem proporsional tertutup berlawanan dengan ketentuan Pancasila dan Konstitusi yang tengah berlaku. 

Baca Juga: Soroti Rencana Pencabutan Moratorium Pinjaman Online, Pimpinan MPR Ungkit Korban Pinjol Ilegal

Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai pernyataan yang terkesan permisif dengan sistem tertutup, sebagaimana diberlakukan pada era orde baru tersebut justru tidak sejalan dengan ketentuan sila Keempat Pancasila terkait Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 

Jika dicermati, kata dia, kronologi sistem pemilu terbuka kembali dipilih sebab sejatinya hasil dari permusyawaratan dengan hikmat kebijaksanaan dalam lembaga perwakilan untuk menjaga kedaulatan rakyat.

HNW mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengkaji secara bijaksana bersama pemerintah yang diwakili oleh Kemendagri dan Kemenkumham serta bersama lembaga Pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Hingga di akhir musyawarahnya, pada Januari 2023, Lembaga-Lembaga Perwakilan Rakyat, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu sepakat memutuskan bahwa Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, bukan kembali ke sistem tertutup sebagaimana berlaku di era Orba," kata HNW dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/6/23). 

Berdasarkan hal tersebut, HNW menyebut penetapan sistem proporsional terbuka telah dipertimbangkan berdasarkan fakta yang dinilai sesuai dengan sila ke-4 Pancasila.

Dia menilai seharusnya BPIP sebagai lembaga yang membina ideologi Pancasila malah mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk juga mempertimbangkan serius hasil musyawarah yang dilakukan oleh DPR, Pemerintah, KPU dll sebagaimana disebut di atas. 

"Apalagi, keputusan musyawarah yang lanjutkan pemberlakuan sistem terbuka itu tidak melanggar satu pasal pun ketentuan UUD NRI 1945. Jadi mestinya BPIP mengingatkan MK untuk juga melaksanakan ketentuan sila Keempat itu sebagaimana sudah dilakukan oleh DPR, Pemerintah dan KPU, bukan malah cawe-cawe yang malah tidak sesuai dengan esensi sila ke-4 Pancasila dan Konstitusi yang sekarang berlaku," katanya. 

HNW menilai aneh jika BPIP yang dilahirkan pasca reformasi justru seperti menjustifikasi bahwa tidak masalah kembali ke sistem tertutup yang diberlakukan di era Orde Baru. Suatu orde yang sudah dikoreksi dengan hadirnya Reformasi. 

"Kalaupun Orde Baru dulu menggunakan sistem tertutup, itu karena UUD yang berlaku di era Orde Baru memang sama sekali tidak mengatur soal pemilu, berbeda dengan UUDNRI 1945 yang berlaku di era Reformasi, yang menghadirkan banyak ketentuan baru, antara lain soal Pemilu," ujarnya. 

Beberapa ketentuan baru terkait Pemilu itu, di antaranya penegasan kedaulatan rakyat sebagai Pemilih sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 pasca amandemen. Ketentuan itu berbunyi, Kedaulatan di tangan Rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 

Selain itu, ada pula Pasal 22E yang mengatur soal Pemilu dan menyatakan bahwa Pemilu antara lain untuk memilih anggota DPR, anggota DPRD dan anggota DPD. Kendati demikian, HNW menyebut UUDNRI 1945 yang tengah berlaku sama sekali tidak menyebut adanya ketentuan bahwa Pemilu untuk memilih tanda gambar Partai Politik peserta Pemilu.

"Ketentuan-ketentuan baru dalam UUDNRI 1945 itu lebih sesuai dengan sistem proporsional terbuka, bukan tertutup," tukasnya lagi. 

Apalagi, kata HNW, MK telah membuat putusan final mengikat pada tahun 2008 yang mengarahkan sistem Pemilu berubah dari tertutup menjadi proporsional terbuka. Menurutnya, hal itu yang dilaksanakan sejak Pemilu 2009, 2014, dan 2019. 

Dia mengatakan seharusnya BPIP mengkaitkan pengamalan ideologi Pancasila itu juga dengan penjabarannya sebagaimana yang ada dalam ketentuan konstitusi yang berlaku sekarang ini. 

"Atau dengan 'cawe-cawe' melempar wacana dengan logika seperti itu, jangan-jangan BPIP juga akan tidak mempermasalahkan Presiden tiga periode atau penundaan pemilu, dengan dalih yang sama, bahwa di masa Orba itu semua terjadi dan negara tidak bubar, dan semuanya baik-baik dan senang-senang saja," katanya.

"Memang benar itu semua terjadi di era Orba, karena tidak menyalahi konstitusi yang berlaku saat itu. Tetapi tentunya BPIP tahu, bahwa Konsitusi yang berlaku sekarang ini berbeda dengan yang berlaku di zaman Orba. UUDNRI 1945 sekarang tegas mengatur jabatan presiden maksimal dua periode (Pasal 7), dan pemilu diselenggarakan lima tahun sekali di Pasal 22E ayat (1)," tambahnya. 

Ia mengaku menyesal dengan pernyataan Wakil Ketua BPIP yang dinilai cawe-cawe dan dapat membuat gaduh terkait sistem pemilu di tahun politik ini. 

"Semestinya pada tahun politik seperti ini, BPIP justru berkontribusi maksimal, mengingatkan semua pihak agar Pancasila dengan semua silanya dilaksanakan dengan jujur dan serius, agar hasil Pemilu benar-benar mencerminkan Pancasila dan UUD NRI 1945 yang dilaksanakan," katanya.

Lebih lanjut, HNW menilai BPIP mesti lebih fokus mengingatkan semua pihak, mengingat peserta pemilu dan kandidat capres/cawapres, caleg serta pemilih atau pemilik kedaulatan yaitu rakyat untuk berkontribusi menyukseskan pemilu yang benar-benar melaksanakan semua sila Pancasila. 

Baca Juga: SBY Disebut Lebay Usai Kritik Pemilu Proporsional Tertutup, Rocky Gerung: Sistem Ini akan Membuat Kita Feodal!

"Agar etika dalam berpolitik saat kompetisi berpemilu betul-betul dilaksanakan sesuai Sila Pertama; semua pihak termasuk aparat agar menjauhi sikap tidak manusiawi, tidak adil dan tidak beradab sesuai sila Kedua; kuatkan komitmen persatuan bangsa, jangan memecah belah atau mengadu domba, dan mengkreasi atau menyebar fitnah, rekayasa atau hoaks," katanya.

"Sila Ketiga; mengedepankan dan menghormati hasil musyawarah, bukan mau menang sendiri atau egois, sesuai sila Keempat; dan benar-benar berorientasi kepada kemaslahatan yang lebih besar dengan bisa terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesi sesuai sila Kelima. Agar Pemilu justru oleh BPIP dijadikan sebagai ajang pembuktian komitmen melaksanakan semua sila Pancasila, sebagai identitas bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat," tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Andi Hidayat
Editor: Ayu Almas

Advertisement

Bagikan Artikel: