Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengamati Kebijakan Debt Ceiling di Amerika Serikat: Permainan Politik dan Tantangan Ekonomi

Mengamati Kebijakan Debt Ceiling di Amerika Serikat: Permainan Politik dan Tantangan Ekonomi Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pelaku pasar sedang mengamati perkembangan kebijakan debt ceiling di Amerika Serikat. Debt ceiling atau pagu utang merupakan batas maksimum jumlah utang yang dapat diperoleh oleh pemerintah AS melalui penerbitan surat utang secara akumulatif.

Penting untuk diketahui bahwa saat ini, pemerintah AS tengah mengalami potensi kegagalan dalam pembayaran utang karena jumlah utang pemerintah telah mencapai batasnya. Pasalnya, dampak debt ceiling AS bisa meningkatkan risiko gagal bayar utang hingga memicu terjadinya krisis ekonomi. 

Seorang pengamat pasar Modal dan Co-Founder Pasardana, Dr. Hans Kwee, menjelaskan bahwa dampak debt ceiling di AS melibatkan isu-isu politik antara Demokrat dan Republik untuk menaikkan popularitas pada pemilihan presiden. 

Baca Juga: Investor Merapat! Kabar Terbaru soal Resesi Global di Amerika, Miliarder Ini Ungkap Kondisi Terkini Saham dan Obligasi

“Amerika ini banyak jadi masalah ya beberapa tahun terakhir ini. Jadi kemarin debt ceiling jadi ribut. Republik dan Demokrat tidak cocok bahwa plafon utang sudah hampir dekat, kemudian si Republik nampaknya keberatan dengan apa yang dilakukan oleh Demokrat. Sebenarnya ini ujung-ujungnya politik,” jelas Kwee, dikutip dari kanal Youtube Rivan Kurniawan, dikutip pada Jumat (7/7/2023).

Ia mengungkapkan, permasalahan tersebut mulai mereda ketika kedua partai politik itu telah mengambil kesepakatan bahwa akan terjadi perpanjangan tenggat waktu debt ceiling AS selama dua tahun untuk membatasi pengeluaran anggaran. Kesepakatan tersebut diambil untuk menghindari isu hingga pemilihan presiden AS berlangsung.

“Nah, memang kalau kita lihat kemarin dramanya berakhir dengan kesepakatan diperpanjang hampir 2 tahunan. Tapi, tentu ditekan gitu ya supaya Partai Demokrat yang berkuasa Joe Biden menurunkan anggarannya. Ditekan turun ke bawah supaya anggarannya itu jangan membakar uang terlalu banyak untuk menaikkan popularitas partai tersebut,” ujarnya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa belum lama ini AS tengah menghadapi masalah tentang kenaikan suku bunga oleh The Fed (bank sentral AS) yang menandakan bahwa inflasi tinggi di AS menjadi ancaman bagi perekonomian. Di samping itu, banyak orang yang menganggap masalah yang dihadapi AS sudah mereda, ternyata Amerika masih banyak juga mengalami masalah pada perbankannya.

Baca Juga: Praktisi Pasar Modal Jelaskan Plus-Minus Investasi di Pasar Saham Amerika Serikat

“Orang berpikir kayaknya udah selesai tapi sebenarnya masalahnya itu masih lebih banyak daripada yang kita pikirkan karena banyak bank di Amerika itu ternyata deposannya tidak diasuransikan. Jadi, kalau terjadi sesuatu deposan bisa kehilangan uangnya,” ujarnya.

Dengan adanya kepanikan yang terjadi, sebagian besar ekonomi memang melihat tidak terjadi kehancuran sistem perbankan. Hal ini karena pihak regulator lebih cepat mengatasi dampak tersebut dari banyak bantuan, seperti menarik dana Covid-19 yang tidak terpakai dan menerapkan regulasi ketat agar bisa mengakses tunjangan pengangguran serta bantuan dari pusat lainnya.

“Selama pandemi, para bank tadi punya duit banyak karena ada QI, ada bantuan langsung yang mengakibatkan debt ceiling tadi, dan bantuan langsung lainnya,” imbuhnya.

Baca Juga: Elon Musk Bunyikan Alarm Tanda Bahaya, Harga Rumah di Amerika Bakal Anjlok Parah!

Kemudian, ia menjelaskan bahwa The Fed menginginkan AS masuk resesi karena untuk menurunkan inflasi. Menurutnya, jika ekonomi suatu negara masuk resesi, maka inflasi akan turun cepat, sehingga bunga tidak perlu naik terlalu tinggi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nevriza Wahyu Utami
Editor: Yohanna Valerie Immanuella

Advertisement

Bagikan Artikel: