Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rhenald Kasali soal ESG: Jika Dikaitkan dengan Branding, Kita Tentu Harus Sensitif

Rhenald Kasali soal ESG: Jika Dikaitkan dengan Branding, Kita Tentu Harus Sensitif Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Environment, Social, dan Governance (ESG) merupakan salah satu tuntutan zaman saat ini. ESG erat kaitannya dengan diversity, unity, dan inclusivity atau keberagaman, persatuan dan inklusivitas. 

Guru besar Fakultas Ekonomi UI, akademisi, serta pendiri Rumah Perubahan, Prof. Rhenald Kasali memaparkan ESG dalam video di kanal YouTube bertajuk “Mengapa Retailer Ini Justru Dihukum Pasar Sangat Besar” yang diakses pada Sabtu (10/6/2023). 

Dalam pemaparannya, Prof. Rhenald menghubungkan kasus-kasus penerapan ESG di pemasaran produk oleh brand. Melalui pemasaran inklusif atau inclusive marketing, brand seharusnya memiliki sensitivitas dengan menggunakan visual yang beragam dan representatif. 

Inclusive marketing itu berpikir di luar dari hal-hal yang bersifat homogen, bisa menerima perbedaan-perbedaan dan sebagainya, kemudian tentu saja kita harus menggunakan bahasa yang tepat, menggunakan visual yang beragam dan representatif, jauhkan dari stereotyping dan yang terpenting dari semua itu adalah bisa sensitif. Karena tiap bangsa berbeda-beda,” jelasnya. 

Contoh kasus adalah perusahaan ritel Target dan perusahaan minuman beralkohol Bud Light yang kuat di Amerika Serikat. Namun mendapat serangan protes dari pelanggan dan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). 

Untuk Bud Light, sahamnya sempat turun 25,7% atau kehilangan US$27 miliar, sementara Target sempat turun sebesar US$15 miliar. “Pertanyaannya, apakah benar itu ESG? Benar, namun jika dikaitkan dengan branding, kita tentu harus sensitif,” ujar Rhenald. Karena itu, perusahaan perlu menerapkan inclusive marketing dengan merepresentasikan orang yang berasal dari ragam latar belakang etnis, kelompok, dan sejenisnya, bukan hanya simbol melalui barang atau produk. 

Dua perusahaan besar tersebut memang sudah menerapkan inclusive marketing, namun tetap dihukum pasar sangat besar, sesuai dengan judul yang diangkat Prof. Rhenald dalam video tersebut.  Menurut Prof. Rhenald, agar brand dan pelanggan menerima keberagaman, butuh perjalanan yang panjang. 

Salah satu masalah yang masih menjadi isu di Indonesia adalah soal inclusivity. Menurut Prof. Rhenald, Indonesia masih di tahap menyatukan perbedaan yang melibatkan kelompok marjinal.

“Kita masih pada tahapan bagaimana menyatukan perbedaan-perbedaan yang melibatkan atau memasukkan orang-orang yang lemah ini tetap bersama-sama dengan kita dalam suatu kebersamaan umat manusia,” ujar Rhenald.

Meski demikian, apakah Indonesia hanya akan menerapkan inclusivity saja? Prof. Rhenald menambahkan, fenomena inclusivity memang tengah menggejala dalam skala global, “Tapi kalau kita bicara ESG maka kita bicara lebih dari sekedar inclusivity,” tambahnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Boyke P. Siregar

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: