Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pertumbuhan Ekonomi Makin Baik, Kok Ketimpangan Makin Lebar?

Pertumbuhan Ekonomi Makin Baik, Kok Ketimpangan Makin Lebar? Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai semakin baik dan tetap kuat di tengah melambatnya perekonomian global. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2023 tercatat sebesar 5,17 persen (yoy). Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal I 2023 sebesar 5,04 persen (yoy).

Berdasarkan sumber pengeluarannya, sektor yang paling banyak menopang pertumbuhan perekonomian adalah konsumsi rumah tangga. Pada kuartal II-2023, sektor konsumsi rumah tangga berkontribusi 53,31 persen terhadap ekonomi Indonesia, dengan tingkat pertumbuhan 5,23 persen (yoy).

Namun, sayangnya, terdapat ketimpangan yang cukup besar antara konsumsi rumah tangga masyarakat kelompok atas dan masyarakat kelompok bawah. 

Baca Juga: Kemenkeu: Ekonomi RI Tumbuh 5,17%, Melejit di Atas Ekspektasi Pasar!

Menurut data yang dirilis BPS, tingkat gini ratio Indonesia pada Maret 2023 meningkat menjadi sebesar 0,388 poin. Angkat tersebut mengalami kenaikan dari pencatatan sebelumnya, yang sebesar 0,381 pada September 2022. Sebelumnya, diketahui bahwa Presiden Jokowi mengharapkan gini ratio Indonesia turun menjadi 0,374. 

Meningkatnya ketimpangan ini terutama terjadi di daerah perkotaan. Pada Maret 2023, gini ratio di daerah perkotaan tercatat sebesar 0,409. Hal ini menunjukkan terjadi kenaikan sebesar 0,007 poin dibanding September 2022 yang sebesar 0,402 dan kenaikan 0,006 poin dibanding kondisi Maret 2022 yang sebesar 0,403.

Sementara itu, gini ratio di pedesaan pada Maret 2023 tercatat sebesar 0,313, atau tidak berubah dibanding gini ratio September 2022 dan turun jika dibandingkan gini ratio Maret 2022 yang sebesar 0,314.

Data-data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin baik tidak diiringi dengan pemerataan, sehingga ketimpangan pun semakin meningkat.

Sekretaris Utama BPS, Atqo Mardiyanto mengatakan bahwa terjadi peningkatan pengeluaran pada 20 persen kelompok masyarakat kelas atas. Sementara 40 persen menengah dan 40 persen ke bawah mengalami pengeluaran tetap.

"Dengan kata lain, kenaikan ketimpangan (gini ratio) disebabkan naiknya pengeluaran golongan atas," ujar Atqo dalam rilis BPS di kantornya, Jakarta.

Sebagaimana diketahui, gini ratio merupakan indeks untuk mengukur tingkat ketimpangan yang berada pada rentang 0-1. Semakin tinggi nilai gini ratio, maka ketimpangan juga semakin tinggi. Memang jika dilihat dari indeks tersebut, ketimpangan Indonesia yang berada di angka 0,388 poin ini masih belum terlalu mendekati 1, yang artinya tidak terlalu timpang. 

Namun, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, hal tersebut karena dasar dari angka gini ratio hanya pengeluaran. Jika kekayaan atau aset turut dihitung, angka ketimpangannya akan semakin lebar.

Faktor-Faktor yang Pengaruhi Melebarnya Ketimpangan 

Dalam pandangan Bhima, penyebab inti dari ketidaksetaraan di Indonesia adalah bertambahnya jumlah individu kaya selama masa pandemi. Hal ini terjadi karena pengalihan aset mereka menghasilkan keuntungan yang signifikan, mulai dari investasi di bidang kesehatan, aset digital hingga pemanfaatan kenaikan harga komoditas yang pesat.

"Yang miskin ya harus gigit jari karena kehilangan pekerjaan, sampai menjadi korban pinjol ilegal," ujar dia dilansir dari Tirto, Senin (7/8/2023).

Menurut laporan The Wealth Report yang dirilis Knight Frank pada 1 Maret 2022, diperkirakan bahwa jumlah individu yang memiliki kekayaan tinggi di Indonesia akan mengalami peningkatan sebesar 63 persen dalam jangka lima tahun mendatang. Peningkatan ini akan menyebabkan lonjakan jumlah orang kaya di Indonesia, dari 82.012 orang pada tahun 2021 menjadi 134.015 orang.

Untuk diketahui, kategori individu yang dimaksud dalam istilah High Net Worth Individuals (HNWIs) memiliki kekayaan lebih dari US$1 juta atau setara dengan Rp14,3 miliar. Kekayaan ini mencakup harta properti, seperti rumah pribadi dan aset lainnya.

Bank Dunia juga menilai ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia bukan dikarenakan memburuknya kondisi kemiskinan, tapi melesatnya akumulasi kekayaan masyarakat kelas atas.

Seperti yang ditulis dalam laporan Bank Dunia berjudul A Perceived Divide: How Indonesians Perceive Inequality and What They Want Done About It, di antara 2003 dan 2010, konsumsi tahunan per orang dari 10 persen individu terkaya tumbuh hingga 6 persen setelah disesuaikan dengan inflasi.

Namun, konsumsi tahunan untuk 40 persen individu termiskin hanya tumbuh kurang dari 2 persen. Hal ini tentunya terjadi karena masyarakat miskin tidak memiliki dana untuk melakukan kegiatan konsumsi.

Selain itu, Bank Dunia juga mencatat ada empat faktor yang memperdalam ketimpangan ekonomi di Indonesia. Pertama, terdapat ketidaksetaraan peluang sejak lahir. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin memiliki prospek masa depan yang lebih kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi yang lebih mapan.

Hal ini disebabkan oleh ketidakadilan yang mereka hadapi sejak awal, mengakibatkan penurunan peluang untuk mencapai kesejahteraan. Dalam kondisi ini, sebagian besar ketimpangan terjadi karena faktor-faktor di luar kendali individu.

Kedua, ketimpangan adalah ketidaksetaraan dalam pasar kerja. Individu yang terjerat dalam pekerjaan informal biasanya memiliki pendapatan yang rendah karena produktivitas mereka juga rendah. Keadaan ini menghambat perkembangan mereka karena mereka kalah bersaing dengan pekerja yang memiliki keterampilan tinggi dalam sektor formal.

Terlebih lagi, menurut ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet, pekerjaan-pekerjaan di sektor formal kerap kali mendapatkan benefit-benefit lain yang tidak didapatkan di sektor informal, seperti fasilitas asuransi.

“Mereka juga mendapatkan berbagai fasilitas asuransi dan ketika misalnya mereka terkena bencana ataupun sakit, mereka kemudian bisa menggunakan fasilitas tersebut tanpa harus mengurangi komposisi dari pendapatan mereka," paparnya dilansir dari Tirto, Senin (7/8/2023).

Ketiga, konsentrasi kekayaan yang hanya terpusat pada segelintir orang saja. Dalam hal ini, hanya 1 persen dari rumah tangga terkaya di Indonesia yang mampu menguasai 50,3 persen dari total kekayaan nasional. Indonesia berada di posisi yang hampir sejajar dengan Rusia dan Thailand, negara-negara yang juga menghadapi persoalan ketimpangan sosial yang serupa.

Keempat, kecenderungan masyarakat miskin yang tak siap menghadapi guncangan ekonomi. Jika terjadi krisis ekonomi, masyarakat dari kelompok-kelompok inilah yang akan paling terdampak.

Sebut saja saat terjadi krisis ekonomi akibat dari pandemi Covid-19, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaanya. Akibatnya, banyak kelompok miskin yang mengalami kesulitan pemasukan, sehingga sulit untuk bertahan hidup.

Selain itu, banyak juga dari kelompok tersebut yang belum memiliki asuransi, sehingga jika mereka sakit, mereka terpaksa menggunakan dana pribadi. Hal ini menyebabkan dana untuk pengeluaran sehari-hari mereka terganggu.

Lantas, Apa Solusinya?

Bank Dunia mengusulkan tiga strategi yang dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Indonesia guna mengurangi disparitas ekonomi sesuai persepsi masyarakat. Kebijakan pertama yang paling mendapat dukungan dari masyarakat adalah program perlindungan sosial. Ini adalah program yang mendapat dukungan dari seluruh segmen sosial.

Kebijakan kedua adalah penciptaan lapangan kerja, harus mencakup pekerjaan yang berkualitas, berstatus formal, serta menawarkan upah dan manfaat yang layak. Tujuannya, agar kelompok masyarakat rentan dan kurang mampu dapat memperoleh manfaat dari pekerjaan ini. Di samping itu, mereka juga akan mendapatkan manfaat dari pendidikan gratis, kredit untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta investasi dalam infrastruktur.

Kebijakan ketiga yang tidak kalah penting adalah penanggulangan korupsi. Opini ini banyak didukung oleh masyarakat yang memiliki pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini mungkin mencerminkan kenyataan bahwa kelompok ini lebih sering terpapar atau mendengar tentang praktik korupsi dalam skala besar. Bahkan, kelompok ini mungkin juga secara pribadi terdampak oleh tindakan kolusi dan korupsi secara langsung.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika tidak bisa dirasakan seluruh masyarakat Indonesia tentunya akan sia-sia saja. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus membuat kebijakan yang terbaik untuk membantu mengurangi atau justru menghapuskan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. 

Baca Juga: Sangkal Pernyataan Anies, Pengamat: Ketimpangan Ekonomi Tak Bisa Dilihat dari Gelap Terang Citra Satelit Wilayah

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: