Miris! Ekonomi Sulit, Anak Nelayan Lombok Ini Jadi Satu-satunya Sarjana di Desanya
Ratusan nelayan dari Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, bertemu dengan Penggiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN) di Pantai Bumbang, Lombok Tengah. Mereka mengeluhkan sulitnya perekonomian keluarga sejak ditutupnya ekspor Benih Bening Lobster (BBL) oleh pemerintah.
Salah satu anak nelayan yang hadir dalam acara tersebut, Anom, mengaku keluarganya sangat terdampak kebijakan ini. Pada periode sekitar tahun 2012-2015, perekonomian keluarganya cukup sejahtera, hingga ia bisa kuliah. Sebab saat itu warga diizinkan menangkap BBL alias benur.
Namun, sejak tahun 2016 atau sejak ekspor lobster ditutup hingga saat ini, kondisi perekonomian warga berbalik drastis. Tak ada lagi warga yang bisa menyekolahkan anaknya hingga kuliah. Bahkan sejumlah nelayan yang sudah telanjur mengambil kredit kendaraan, tak mampu melunasinya.
Baca Juga: Bea Cukai Soetta Gagalkan Ekspor Ilegal Benih Lobster Senilai Rp5,3 Miliar
"Saya sendirian sarjana di dusun saya. Jadi, sebetulnya warga di sini paham pendidikan itu penting, tapi tidak ada dana untuk kuliahkan anak," kata Anom dalam keterangan tertulisnya, Minggu (13/8/2023).
Tak hanya perekonomian warga yang meningkat, saat diizinkan menangkap BBL, angka kriminalitas di kawasan Lombok juga rendah. "Bisa dibilang taruh motor dengan kunci di pinggir jalan, tidak akan hilang," kata Anom.
Sedangkan saat ini, kondisi yang terjadi justru sebaliknya. Padahal Lombok termasuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang semestinya tingkat keamanannya tinggi. Sebab banyak event internasional yang digelar di Lombok, terutama di Sirkuit Mandalika.
Nelayan lain, Hengki, juga mengeluhkan kebijakan penutupan ekspor BBL karena tak ada solusi yang jelas. Sebab solusi budi daya BBL yang ditawarkan pemerintah tak dapat mengakomodasi semua tangkapan nelayan.
Sejauh ini, budi daya BBL di kawasan Lombok hanya ada di Lombok Timur. Itu pun jumlah kerambanya sangat terbatas, dan teknologinya kalah jauh dengan Vietnam yang merupakan pengekspor lobster terbesar di Asia.
"Nelayan di sini sehari bisa (menangkap benur) 10 ribu. Di sana (lokasi budidaya lobster di Lombok Timur) 10 ribu aja enggak mampu. Mau tidak mau dijual dengan harga murah," keluhnya.
Saat ini harga jual BBL hanya berkisar Rp1-2 ribu per ekor, atau paling mahal Rp4 ribu. Sementara saat BBL boleh ditangkap, harganya mencapai Rp50 ribu per ekor.
Menanggapi keluhan tersebut, Wakil Ketua PBLN Syaifullah mengaku akan menyampaikan kegelisahan para nelayan tersebut ke DPR, khususnya Komisi IV. Ia prihatin melihat kehidupan warga pesisir pantai yang justru tak dapat hidup dari alam yang ada di sekitarnya, padahal sumber dayanya melimpah.
"Jumlah BBL di alam, di perairan Indonesia ini 278,3 miliar ekor per tahun. Dia hanya bisa hidup 0,01 persen di laut, sisanya habis dimakan predator. Kenapa tidak boleh kita ambil?" kata Syaifullah.
Dia juga berharap apa pun solusi dari pemerintah, setidaknya nelayan tidak dilarang menangkap BBL. Sehingga tidak ada perasaan was-was pada diri nelayan setiap harinya.
"Kemiskinan di masyarakat pesisir terlalu tinggi karena aturan yang dibuat tidak menguntungkan nelayan kita. Artinya ini ada yang salah," ujar Syaifullah.
Baca Juga: Ikut Panen di Kawasan Tambak BUBK, Wapres Sampaikan 5 Strategi Majukan Sektor Budi Daya Udang
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement