Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Marak Investasi Bodong, Pengamat: Investasi Bukan untuk Cari Uang

Marak Investasi Bodong, Pengamat: Investasi Bukan untuk Cari Uang Kredit Foto: Freepik
Warta Ekonomi, Jakarta -

Maraknya investasi bodong di Indonesia membuat resah banyak pihak lantaran telah membuat kerugian hingga ratusan triliun rupiah. Hal ini terjadi tidak lepas karena banyak investasi yang mengiming-imingkan return yang tinggi, sehingga banyak orang tergiur dan memasukkan uangnya ke investasi tersebut. 

Chief Economic Bahana, Budi Hikmat berpendapat bahwa banyak investasi bodong terjadi karena banyak orang salah fokus saat ingin berinvestasi. Kebanyakan orang berinvestasi untuk menghasilkan uang, dan itu merupakan kesalahan. Menurutnya, fokus dari investasi sendiri seharusnya agar tidak kehilangan uang, bukan untuk menghasilkan uang.

Investing is not to make money, dan fokusnya itu ke not to losing money,” ujarnya dilansir dari kanal YouTube Syailendra Capital berjudul Investasi Ala Nabi Yusuf pada Minggu (13/8/2023).

Baca Juga: Kejagung Tahan Eks Dirjen Minerba, CERI: Berdampak Positif pada Investasi Hilirisasi Pertambangan

Ia melanjutkan bahwa investasi merupakan sama dengan menanam keberuntungan. Terdapat tiga hal yang bisa diterapkan agar terbebas dari investasi bodong. Pertama, yang harus dilakukan sebelum berinvestasi adalah mencari jenis investasi yang aman.

“Investasi menanam keberuntungan, dan yang dimaksud keberuntungan ada tiga hal. Pokoknya aman, cuannya nyaman, (dan) liquid. (Pertama, aman), maksudnya, kita taruh uang nih, fokus bahwa capital kita enggak hilang,” tuturnya.

Kedua, jangan mudah tergiur dengan investasi yang menjanjikan return tinggi. Pasalnya, jika return-nya tinggi, risikonya pun akan tinggi.

“Pokoknya jangan ngeliat return-nya dulu. Never trust too good to be true return, it’s only coming with unnecessary risk (Jangan percaya return yang terlalu tinggi, itu hanya akan datang dengan risiko yang lebih tinggi juga). Pokoknya return of capital dulu, baru cuannya return on capital,” paparnya.

Ketiga, likuiditas, yaitu kemudahan untuk mengubah aset investasi tersebut menjadi uang tunai.

“Terakhir, investasi bukan cuma bisa masuk, tapi bisa keluar dengan biaya murah, itu liquidity risk. Kalau orang investasi, enggak pernah bertanya ‘Mas kalau minggu depan saya tarik bisa enggak?’ dan dijawab ‘enggak bisa’, itu bukan investasi,” paparnya. 

Budi juga menjelaskan terkait distribusi aset yang tepat untuk berinvestasi, yaitu rumusan 100 dikurang dengan umur investor. Di mana, semakin muda umur investor, maka distribusi investasinya harus lebih banyak di aset-aset berisiko tinggi. 

“Rumusan 100 dikurang umur. Jadi, misalnya, sekarang umur saya 56 tahun. Berarti 46 persen saya di growing asset, bisa di properti, bisa di saham, dan lain-lain. Yang muda pasti lebih banyak di risky asset, lebih agresif,” tukasnya.

Baca Juga: Miliarder Mark Cuban Lebih Pilih Investasi Reksa Dana Dibandingkan Saham, Kenapa?

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: