Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ribut-Ribut Hilirisasi Nikel, Dongkrak Ekonomi Indonesia atau China?

Ribut-Ribut Hilirisasi Nikel, Dongkrak Ekonomi Indonesia atau China? Kredit Foto: Antara/Jojon
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan hilirisasi yang dielu-elukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seakan tak henti-hentinya menjadi perbincangan publik. Semenjak pertama kali diterapkan, banyak simpang siur kabar yang mengatakan bahwa kebijakan hilirisasi nikel ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan seperti yang diklaim pemerintah.

Faisal Basri, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), merupakan salah satu ekonom yang paling sering mengutarakan pendapatnya terkait kebijakan ini. Menurutnya, keuntungan dari kebijakan hilirisasi sebagian besar hanya dinikmati oleh China. Sementara Indonesia hanya mencicipi keuntungan sedikit saja.

“Kita juga dapat (keuntungan), tapi 90% larinya ke China,” ujarnya dilansir dari kanal YouTube CNBC Indonesia, Selasa (15/8/2023). 

Baca Juga: DPR Desak BPK Audit Program Hilirisasi Nikel Kebanggaan Jokowi

Hal tersebut Faisal katakan lantaran dalam proyek hilirisasi nikel mayoritas investor dan perusahaan smelter pengolah bijih nikel berasal dari China. Oleh karena itu, ia menyangkal klaim pemerintah yang mengatakan Indonesia mendapatkan nilai tambah yang fantastis dari ekspor nikel tersebut karena China bisa dengan bebas membawa hasil ekspor tersebut ke luar Indonesia.

“Hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri,” paparnya dalam keterangan tertulisnya.

Klaim Pemerintah Soal Hilirisasi Nikel

Potensi besar cadangan nikel yang mencapai 52 persen dari total cadangan dunia yang saat ini sebesar 139 juta ton menjadikan Indonesia berada di posisi pertama sebagai negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Sebelumnya, pemerintah hanya melakukan ekspor bijih nikel mentah. Hal tersebut kemudian dirasa kurang memberikan manfaat nilai tambah bagi Indonesia.

Selanjutnya, pada tahun 2020 pemerintah mulai melarang ekspor bijih nikel. Kebijakan tersebut diiringi dengan dimulainya hilirisasi nikel, di mana bijih nikel diwajibkan untuk diolah terlebih dahulu di dalam negeri sebelum diekspor. Pemerintah menerapkan kebijakan hilirisasi nikel agar Indonesia mendapatkan nilai tambah dari hasil ekspor nikel.

Menurut Jokowi, hilirisasi mineral mentah telah mendongkrak nilai ekspor Sumber Daya Alam (SDA), salah satunya nikel yang melonjak menjadi Rp510 triliun setelah pemerintah menyetop ekspor bijih nikel. Sedangkan, jika tidak ada program hilirisasi, nilai komoditas nikel saat diekspor dalam bentuk bahan mentah, kira-kira hanya Rp17 triliun per tahun.

“Kalau hitungan kita ya, saya berikan contoh nikel. Saat diekspor mentahan, bahan mentah, setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ke hilirisasi, menjadi Rp510 triliun,” terangnya usai meninjau LRT Jabodebek, Kamis (10/8/2023).

Peningkatan nilai ekspor tersebut dinilai akan memacu peningkatan negara, mulai dari sisi pajak, royalti, bea ekspor, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyampaikan pendapat yang senada, yaitu dengan memfokuskan kepada hilirisasi, perekonomian Indonesia akan mengalami lompatan kemajuan. Ia menyebutkan hilirisasi terhadap nikel ore menjadi stainless steel yang terjadi di kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah, telah membantu meningkatkan nilai tambah ekspor nikel Indonesia. 

“Kalau nickel ore dijual sekitar US$40-60, sedangkan ketika menjadi stainless steel harganya di atas US$2.000. Selain itu, kita sudah mampu ekspor dari Morowali senilai US$4 miliar, baik itu hot rolled coil maupun cold rolled coil ke Amerika Serikat dan China," tuturnya.

Airlangga menambahkan bahwa proyek hilirisasi tersebut juga menyerap puluhan ribu tenaga kerja.  “Jumlah penyerapan tenaga kerja di sana terbilang sangat besar hingga 30 ribu orang," tambahnya.

Tanggapan Faisal Basri

Menanggapi klaim Jokowi bahwa Indonesia memperoleh keuntungan hingga Rp510 triliun dari hilirisasi nikel, Faisal mempertanyakan dari mana Jokowi mendapatkan angka tersebut. Ia mengatakan angka yang disampaikan Presiden RI tersebut tidak jelas sumber hitung-hitungannya.

Ia lantas membeberkan hasil perhitungannya. Menurutnya, jika melihat data dari 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Angka tersebut didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11.865 per dolar.

“Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun,” bebernya.

Terlepas dari perbedaan angka perhitungan yang disampaikannya dan Jokowi, ia menyampaikan memang benar bahwa terdapat lonjakan ekspor yang fantastis. Namun, lonjakan ini tidak sepenuhnya dinikmati Indonesia. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan smelter dikelola oleh negara Tirai Bambu.

“Memang dasyat kenaikannya. Namun, harus diingat bahwa ekspor dilakukan oleh sebagian besar perusahaan China, yang hasil ekspornya tidak dibawa ke Indonesia. Pun kalau dibawa ke Indonesia cuma satu hari, besoknya dia bawa (ke luar Indonesia). Itu hak mereka memang. Modal punya mereka, pengusahanya punya mereka, ada hak mereka untuk membawa pulang dan tidak memasukkannya ke Indonesia. Jadi, Rp510 triliun (sebenarnya) bukan uang kita,” tukasnya dikutip dari kanal YouTube CNBC Indonesia, Selasa (15/8/2023).   

Faisal juga menyayangkan kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak mengenakan pajak dan jenis pungutan lainnya terhadap ekspor olahan bijih nikel ini. Terlebih lagi, perusahaan smelter nikel mendapatkan tax holiday selama 20 tahun. Sehingga, ia menyimpulkan bahwa penerimaan negara dari proyek hilirisasi nikel hampir nihil.

“Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar. Perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel,” ujarnya. 

Selanjutnya, menanggapi klaim bahwa program hilirisasi menyerap banyak tenaga kerja Indonesia, Faisal justru mengungkapkan ternyata tenaga-tenaga kerja Indonesia justru mendapatkan upah yang lebih sedikit dari tenaga kerja China. Belum lagi, tenaga China yang datang ke Indonesia tidak menggunakan visa pekerja, membuat Indonesia semakin merugi karena mereka tidak membayarkan pajak penghasilan.

“Banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar US$100 (Rp1,53 juta) per pekerja per bulan,” lanjutnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: