Kredit Foto: Antara/Kornelis Kaha
Fenomena harga beras yang terus melonjak menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, beras merupakan makanan pokok yang wajib dikonsumsi oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data dari Panel Badan Pangan Nasional, harga beras sudah mengalami kenaikan secara signifikan pada tahun 2022. Pada 22 Agustus 2022, harga satu kg beras medium berada di angka Rp10.810, lalu berangsur-angsur naik hingga pada periode yang sama di tahun 2023 harga beras telah menjadi Rp12.110. Harga tersebut tentunya sudah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) seharga Rp10.900 per kg.
Pengamat pertanian Khudori mengakui bahwa harga beras memang sudah melonjak tinggi dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Di mana HPP Gabah Kering Panen (GKP) di petani sebesar Rp5.000 per kg.
Baca Juga: Di Balik Naiknya Harga Beras meski Stok Melimpah dan Impor oleh Bulog
“Harga di pasar sudah jauh meninggalkan HPP. Rerata sudah lebih dari Rp6.000 per kg. Bahkan ada yang sudah menyentuh Rp7.000 per kg. Ini kenaikan yang luar biasa," ujarnya dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (23/8/2023).
Lantas, Apa Penyebabnya?
Menurut pengamatan Khudori, setidaknya ada empat faktor yang memengaruhi kenaikan harga beras. Pertama, siklus panen. Ia menjelaskan kenaikan harga beras memang sering terjadi pada Juli hingga September.
Hal tersebut lantaran bulan tersebut merupakan musim gadu. Mengingat musim gadu, harga beras memang cenderung melonjak tinggi dibandingkan dengan saat musim panen raya yang terjadi di Februari hingga Mei.
Kedua, proyeksi produksi beras yang terus mengalami penurunan. Menurutnya, proyeksi tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan terhadap beras. Hal tersebut pun berujung pada ekspektasi harga yang naik.
"Produksi pada sembilan bulan 2023, merujuk data Kerangka Sampel Area (KSA) BPS, diproyeksikan 25,64 juta ton GKG (Gabah Kering Giling). Kendati data Juli-September 2023 masih proyeksi, yakni berdasarkan luas tanam, angka itu turun dibandingkan sembilan bulan pertama 2022 yang tercatat 26,17 juta ton GKG," papar Khudori.
Sementara pada periode yang sama, Juli-September 2023, konsumsi beras nasional diperkirakan akan meningkat, mencapai angka 22,89 juta ton. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi beras pada periode yang sama tahun 2022.
Ketiga, dampak dari fenomena El Nino. Panjangnya musim kemarau karena fenomena El Nino juga Khudori nilai sebagai salah satu penyebab naiknya harga beras. Pasalnya, musim kemarau panjang akan sangat memengaruhi sektor pertanian karena tidak adanya pengairan, sehingga produksi akan merosot.
"Faktor ketiga, El Nino. Walaupun El Nino bukan hal baru, akan tetapi pemberitaan dan eksposur El Nino cukup luas. Terutama dampaknya pada sektor pertanian. Sejumlah pihak memperkirakan produksi padi bakal turun 1,5 juta ton GKG. Bahkan, ada yang memperkirakan produksi beras turun hingga 5%. Jika yang terakhir ini yang terjadi, lumayan besar," tuturnya.
Keempat, dampak dari dinamika global, di mana banyak negara eksportir beras global yang menutup keran ekspornya. Salah satu negara yang menyetop keran ekspor beras adalah India. Diketahui, pada 20 Juli 2023, India resmi menghentikan ekspor beras non-basmati.
Hal tersebut kemudian mengakibatkan banyak negara yang bergantung pada beras impor dari India, termasuk Indonesia, mengalami guncangan kenaikan harga beras.
"Salah satunya India. India pada 20 Juli lalu menutup ekspor beras non-basmati. Dampaknya, harga beras sempat naik. Negara-negara yang selama ini bergantung pada beras impor dari India bakal terkena dampaknya," terang Khudori.
Apa Dampak dari Lonjakan Harga Beras?
Tentunya banyak masyarakat yang terdampak oleh lonjakan harga beras ini. Kesejahteraan masyarakat turut terancam oleh kenaikan harga pangan pokok tersebut. Pasalnya, beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Naiknya harga beras akan langsung memengaruhi biaya hidup masyarakat.
Kenaikan harga yang terus-menerus akan menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan dasar, terutama bagi mereka yang memiliki pendapatan rendah. Situasi ini berpotensi memicu inflasi di Indonesia, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dan kesenjangan sosial yang signifikan. Hal tersebut kemudian akan berdampak besar pada kehidupan sosial masyarakat di Indonesia.
Peningkatan signifikan harga beras juga memiliki dampak yang luas terhadap inflasi secara keseluruhan. Kenaikan harga beras akan berpengaruh pada biaya produksi di sektor pangan, termasuk pengeluaran petani, biaya transportasi, dan proses pengolahan beras.
Akibatnya, harga barang dan layanan lainnya cenderung naik, menciptakan tekanan inflasi yang lebih besar. Inflasi ini berdampak pada penurunan daya beli masyarakat Indonesia dan melemahkan nilai mata uang rupiah, sehingga daya beli masyarakat semakin terbatas. Masyarakat akan mengalami kesulitan dalam membeli barang-barang penting, seperti bahan makanan pokok, yaitu beras karena harganya terus meningkat.
Menurut Kementerian Keuangan (2014), beras memiliki peran krusial sebagai makanan pokok yang memengaruhi kesejahteraan bangsa Indonesia. Sementara kenaikan harga beras bisa meningkatkan pendapatan petani, dampak negatifnya adalah penurunan ketahanan pangan dan risiko meningkatnya tingkat gizi buruk, terutama di kalangan masyarakat yang masuk dalam kelompok miskin.
Selain beras, harga GKP pun mengalami kenaikan. Kenaikan harga padi ini juga menyebabkan banyak usaha penggilingan padi pada skala kecil terpaksa tutup. Pasalnya, pengusaha kecil tersebut tidak memiliki modal yang cukup banyak untuk dapat membeli gabah yang terlalu mahal.
Respons Pemerintah
Kepala Bapanas Arief Prasetyo mengonfirmasi adanya harga beras yang sedang mengalami kenaikan. Ia mengatakan bahwa saat ini kondisi produksi padi sedang tidak normal dan terus mengalami penurunan.
Arief lalu membeberkan dua cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan lonjakan harga beras ini. Pertama, penganekaragaman konsumsi dan kedua, impor beras.
"Cadangan pemerintah itu paling bagus dari produksi dalam negeri, tetapi pada saat dalam negeri seperti hari ini, ini pilihannya kita mau penganekaragaman konsumsi atau satu lagi impor. Tinggal pilih aja, mau pilih harga tinggi, kita tidak melakukan importasi ya kita sama-sama seperti hari ini, ya kuncinya ada di produksi," tegasnya dilansir dari Detikcom, Rabu (23/8/2023).
Ia melanjutkan bahwa Bapanas telah menyiapkan pasokan cadangan pangan lebih guna membendung kenaikan harga beras.
"Jadi yang pertama ini kenapa Badan Pangan Nasional mulai dari awal tahun sudah mempersiapkan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) itu ini maksudnya. Banyak orang enggak paham, jadi saat produksi semester kedua itu drop, kita sudah punya cadangan pangan, sehingga cadangan pangan pemerintah ini yang digunakan untuk intervensi," jelas Arief.
Bapanas juga dikabarkan telah melakukan intervensi untuk menekan harga beras, mulai dari penyebaran bansos dari beras Bulog hingga gerakan pasar murah di berbagai wilayah.
Baca Juga: Siap-siap! Sri Mulyani Tambah Anggaran Bansos Beras Rp8 Triliun Hingga Akhir 2023
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement