Manfaat Hilirisasi Nikel bagi Rakyat
Oleh: Dr. Rino A. Sa'danoer, Konsultan dan Ketua Koperasi Aliansi Rakyat Indonesia Makmur (KARIMA)
Menyimak percakapan antara Rhenald Kasali dan Septian Hario Seto, Deputy Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, dalam satu video yang sedang viral, membuahkan pemahaman yang lebih dalam mengenai program hilirisasi Nikel pemerintah, yang mengundang kritik tajam dari ekonom senior Faisal Basri. Memang percakapan interaktif di acara Rhenald itu terfokus pada sanggahan dari berbagai kritik Faisal.
Seto, dalam percakapan itu, juga menjelaskan manfaat pengolahan bijih nikel terhadap ekonomi lokal di sekitar area pertambangan dan di sekitar lokasi smelter. Seto juga menjelaskan dengan baik alasan mengapa China cukup dominan dalam industri nikel saat ini. Berbagai manfaat dan keuntungan yang diperoleh Indonesia dengan gamblang juga dijelaskan, sehingga sebagai pemirsa, kita mendapatkan penjelasan yang cukup rasional.
Baca Juga: Usai Kritik Data Hilirisasi Nikel, Faisal Basri: Saya Khilaf, Tidak Ada Kebencian pada Pak Jokowi
Pemerintah mengeklaim hilirisasi nikel ini pada 2022 lalu, telah mencetak nilai tambah sebesar US$33 miliar atau Rp514,3 triliun (kurs Rp15.585 per US$). Realisasi itu naik signifikan dari yang tahun 2021 mencapai US$20,9 miliar, bahkan dari tahun 2018-2019 yang hanya US$3,3 miliar. Dari penjelasan ini jelas bahwa hilirisasi nikel membawa kebermanfaatan ekonomi yang besar bagi negara. Hal ini tentu berita yang menggembirakan bagi kita yang bangga akan kekayaan sumber alam Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa manfaatnya bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan?
Mengutip kritik Faisal Basri, yang bisa didapat dari banyak sumber, Faisal mengatakan sebesar 90% hasil hilirisasi nikel dalam negeri justru lari ke China, sedangkan Indonesia hanya mendapatkan 10%. Hal itu dijelaskan oleh Faisal lantaran perusahaan hilirisasi nikel yang berdiri di Indonesia sebagian besar merupakan perusahaan China.
Dari pernyataan Faisal ini, kita berkesimpulan bahwa nilai tambah yang diklaim Pemerintah itu tentu saja tidak mengalir ke negara, apalagi ke rakyat Indonesia. Tapi statement ini dibantah oleh Seto, dengan penjelasan yang cukup baik.
Manfaat hilirisasi nikel bagi rakyat bisa diuji dengan kenyataan yang terjadi. Menjenguk data BPS soal ketimpangan di masyarakat, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi Indonesia memburuk. BPS mengukur ketimpangan dengan menggunakan rasio Gini. Pada bulan September 2019, rasio Gini menunjukkan angka 0,380, dan pada pengukuran terkini, yaitu bulan Maret 2023, rasio Gini menunjukkan angka 0,388. Dari angka ini jelas menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia semakin memburuk.
Kembali pertanyaannya, apakah peningkatan pendapatan negara dari hasil hilirisasi nikel berdampak kepada masyarakat Indonesia? Dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi di masyarakat jelas menunjukkan "trickel down effect" dari hasil hilirisasi nikel belum atau tidak mengalir ke masyarakat. Pertambahan nilai hikirisasi nikel pada tahun 2022 tidak berkontribusi kepada pengurangan ketimpangan ekonomi di masyarakat. Apa penyebabnya?
Jika memang kritik dan tuduhan Faisal mengandung kebenaran, maka jelas tidak ada hasil hilirisasi nikel yang akan mengalir ke negara untuk membiayai program guna menekan kesenjangan ekonomi. Tapi jika claim pemerintah juga mengandung kebenaran, maka ada masalah pengelolaan alokasi pendapatan negara sehingga tidak menyentuh masalah kesenjangan ekonomi ditengah masyarakat.
Tapi ada alasan lain yang mungkin lebih pasti untuk menjawab pertanyaan dampak hilirisasi nikel pada rakyat. Hilirisasi nikel membutuhkan pembangunan smelter yang membutuhkan modal besar. Sumber dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyebutkan bahwa biaya pembangunan satu proyek hilirisasi komoditas pertambangan di Indonesia rata-rata menyentuh hingga US$ 1 miliar atau sekitar Rp14,8 triliun (asumsi kurs Rp14.855 per US$).
Dengan biaya sebesar itu tentu akan mengundang pemain yang bermodal besar pula. Kondisi ini tentu tidak memungkinkan bagi "rakyat" Indonesia yang pendapatan rata-ratanya per bulan sebesar Rp5,9 juta (BPS, 2022) untuk ikut serta dalam investasi proyek hilirisasi smelter. Hukum dagang sudah menetapkan bahwa yang mendulang keuntungan adalah yang berinvestasi. Jelas sudah, investasi sebesar itu akan "menyingkirkan" rakyat sebagai investor pada proyek hilirisasi nikel di Indonesia, maka hasil nikel tidak akan mengalir pula kepada rakyat.
Sebenarnya kita sudah punya "kendaraan" yang bisa melibatkan rakyat dalam investasi besar, yaitu KOPERASI. Koperasi merupakan kumpulan orang yang menyatukan diri untuk menghimpun kekuatan, baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan sosial. Modal besar untuk ikut serta dalam pendanaan proyek hilirisasi nikel bisa dihimpun dalam wadah koperasi.
Dengan demikian keikutsertaan masyarakat dalam wadah koperasi memungkinkan rakyat untuk mendapatkan sepotong "kue" hilirisasi nikel. Pertanyaannya, apakah koperasi "dibolehkan" untuk berperanserta dalam proyek hilirisasi nikel?
Baca Juga: Kritik Hilirisasi Nikel, Faisal Basri Buka-bukaan Dominasi China: Dari Mesin hingga Bank
Supaya rakyat melalui koperasi bisa berperan dan mengambil manfaat dari industri pertambangan nikel, maka dukungan pemerintah sangat didambakan. Kebijakan dan peraturan yang memberikan kerangka yang kondusif bagi koperasi untuk berperan sangat diperlukan.
Melalui kerangka yang kondusif ini koperasi "dibolehkan" untuk berperan serta. Di samping itu, pemerintah juga harus bisa "memampukan" koperasi untuk bisa berperan. Dengan ikut sertanya rakyat melalui koperasi pada proyek-proyek hilirisasi nikel, maka program hikirisasi nikel ini akan dapat bermanfaat bagi rakyat Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait:
Advertisement