Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Dinilai Perlu Solusi Komprehensif untuk Tekan Emisi Transportasi

Pemerintah Dinilai Perlu Solusi Komprehensif untuk Tekan Emisi Transportasi Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tingginya tingkat polusi udara di Jakarta disebutkan berasal dari emisi  berbagai moda transportasi dan industri manufaktur. Hal ini disampaikan oleh Peneliti sekaligus Dosen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Seny Damayanti. 

“Moda transportasi darat masih menjadi penyumbang utama polutan di Jakarta. Terutama heavy duty vehicle/kendaraan berat seperti bus, truk dan lain sebagainya,” katanya kepada media, Senin (28/8/2023).

Menurutnya, ada yang perlu diluruskan terkait informasi penyebab polusi udara di Jakarta. “Tidak benar bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi penyumbang polutan di Jakarta,” kata Senny yang tergabung dalam Klaster keilmuan Perubahan Iklim Doctrine United Kingdom. 

Seny berkomentar soal hasil temuan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang memaparkan polusi hasil PLTU.” Setelah saya baca, itu hanya simulasi saja. Dan belum tentu terjadi dalam setahun,” katanya.  

Baca Juga: Bukan Hanya Transportasi, IESR: Arah Angin Sangat Tentukan Polusi Udara di Jakarta

Sesuai dengan penelitian yang sudah dilakukan berulang kali dan secara periodik, paparnya, belum ditemukan emisi dari PLTU. “Emisi dari pembangkitan belum ditemukan. Emisi PLTU di Suralaya terlalu jauh untuk menjangkau Jakarta.

Menurutnya, pembangkitan listrik yang mampu memengaruhi udara sekitar Jakarta adalah PLTGU Muara Karang dan PLTGU Priok. “Namun keduanya sudah memakai bahan bakar gas. Jadi emisinya sangat rendah,” katanya.     

Dari penelitian tersebut, paparnya, ada beberapa skenario pengendalian yang bisa dijalankan. Seperti penerapan EURO 4 untuk kendaraan penumpang, bus, dan truk yang dimulai pada bulan Oktober 2018 (untuk kendaraan berbahan bakar bensin) dan akan diterapkan pada bulan April 2021 (untuk kendaraan berbahan bakar solar).

“Namun untuk penerapan EURO 4 sepertinya masih belum maksimal. Hal ini juga terkait dengan teknologi bahan bakar. Bukan hanya mesinnya saja yang EURO 4,” jelasnya. 

Skenario pengendalian selanjutnya, papar Seny, penggunaan bahan bakar gas alam terkompresi (CNG) di semua kendaraan bus dan truk baru, yang akan dimulai pada tahun 2020. Skenario ini merupakan tambahan dari penerapan EURO 4.

Baca Juga: Heboh Soal Polusi Udara Jakarta, PLTU Jawa 7 Tegaskan Komitmen Produksi Listrik Ramah Lingkungan

Berikutnya, skenario pengendalian dengan cara menguatkan penetrasi pemakaian kendaraan listrik (EV) untuk menggantikan kendaraan konvensional. Kebijakan ini ditargetkan dapat diterapkan pada tahun 2025. “Skenario ini juga merupakan tambahan dari implementasi EURO 4.”

Hal lain, skenario pengendalian selanjutnya adalah penerapan sistem Electronic Road Pricing (ERP) atau pungutan terhadap pengguna jalan di tempat tertentu dengan cara membayar secara elektronik untuk mengurangi jumlah kilometer perjalanan “Kebijakan ini ditargetkan bisa diterapkan pada tahun 2020 (tertunda) untuk mendorong pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan kendaraan umum.”

Adapun yang terakhir, skenario pengendalian terkait dengan penerapan sistem scrapping atau pemusnahan kendaraan dengan masa manfaat 20 tahun atau lebih. “Kebijakan scrapping ini ditargetkan dapat dilaksanakan pada tahun 2025.”

Hal itu ditambah dengan industri manufaktur yang terletak di Kawasan Industri Pulogadung. “Polutan terekam banyak dari sana,” kata Seny yang sedang menempuh program doktor di Birmingham University.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: