Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengupas Alasan di Balik Maju Mundurnya Redenominasi Rupiah

Mengupas Alasan di Balik Maju Mundurnya Redenominasi Rupiah Ilustrasi redenominasi rupiah. | Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wacana redenominasi rupiah atau penyederhanaan mata uang rupiah kembali menjadi perbincangan setelah berulang kali mengalami maju mundur dalam hal eksekusinya.

Wacana redenominasi sebenarnya sudah terdengar di Indonesia dari puluhan tahun lalu, yakni tepatnya saat 2013, di mana Kementerian Keuangan sempat mengeluarkan ilustrasi uang hasil redenominasi rupiah. Mata uang hasil redenominasi rupiah digambarkan punya desain yang berbeda meski warna dasarnya sama. Selain itu, tiga angka nol dihilangkan setelah mengalami penyederhanaan sehingga Rp100.000 tertulis Rp100.

Selanjutnya, muncul kembali pada tahun 2020 saat Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Dalam Permenkeu tersebut, disebutkan bahwa salah satu RUU Program Legislasi Nasional Jangka Menengah Tahun 2020-2024 adalah rencana perubahan nilai rupiah. RUU Redenominasi Rupiah ini ditargetkan selesai antara 2021-2024.

Baca Juga: Menguat, Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Tembus Rp15.270 per Dolar AS

Kemudian, kembali mencuat saat Bank Indonesia (BI) memastikan bahwa redenominasi rupiah akan berjalan sesuai rencana. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan bahwa rencana redenominasi, mulai dari desain dan juga tahapannya, sudah dipersiapkan sejak dahulu, dan akan siap diimplementasikan di waktu yang tepat.

"Kami dari dulu sudah siap, jadi redenominasi itu sudah kami siapkan dari dulu masalah desainnya, kemudian juga tahapan-tahapannya itu sudah kami siapkan sejak dari dulu secara operasional dan bagaimana untuk langkah-langkahnya," ujarnya dalam konferensi pers, dikutip Selasa (29/8/2023).

Apa itu Redenominasi Rupiah?

Dilansir dari situs BI, redenominasi rupiah adalah tindakan penyederhanaan dan penyetaraan nilai mata uang saat kondisi ekonomi stabil serta sehat. Tindakan redenominasi dilakukan dengan menghilangkan beberapa angka nol pada nilai uang atau barang, sehingga menyederhanakan penulisan nilai barang, jasa, dan uang.

Berdasarkan definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi merupakan upaya untuk menyederhanakan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya di pasar. Gubernur BI periode 2010 hingga 2013, Darmin Nasution menilai bahwa redenominasi tidak akan memberikan kerugian kepada masyarakat. Nilai uang terhadap barang atau jasa tetap tidak akan berubah karena yang terjadi hanya penyederhanaan.

Berdasarkan informasi yang disampaikan di laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tujuan dari langkah ini adalah untuk mengurangi jumlah digit pada pecahan uang tanpa mengurangi nilai, harga, atau daya belinya terhadap barang dan jasa.

Tentunya, redenominasi memiliki perbedaan dengan sanering atau pemotongan nilai uang, seperti yang terjadi pada akhir 1950-an di Indonesia. Pada saat itu, untuk menekan inflasi, pemerintah memotong nilai uang rupiah pada pecahan Rp500 dan Rp1.000 menjadi Rp50 dan Rp100. Sebagai contoh, mulanya harga barang Rp5.000, saat kebijakan sanering dilakukan, untuk membeli barang tersebut membutuhkan pecahan Rp500 sebanyak 10 lembar atau koin.

Sementara saat redenominasi, misalnya pecahan Rp1.000 disederhanakan menjadi Rp1. Saat harga barang Rp5.000, lalu kebijakan redenominasi dilakukan, maka untuk mendapatkan barang tersebut hanya memerlukan Rp5 saja.

Kebijakan redenominasi diklaim memiliki potensi untuk membuat transaksi menjadi lebih efisien. Secara teknis, meskipun angka pada uang yang mengalami redenominasi menjadi lebih kecil, nilai uangnya tetap tidak berubah. Sebetulnya, istilah ini sudah tanpa disadari menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Contohnya adalah penggunaan embel-embel huruf ‘K’ setelah digit untuk merujuk pada ribuan, seperti Rp15K untuk menyatakan Rp15.000.

Urgensi Redenominasi

Gubernur BI periode 2013-2018, Agus Marto Warjoyo menilai setidaknya ada lima urgensi terkait kebijakan redenominasi. Pertama, penyederhanaan nilai mata uang dengan mata uang terlihat lebih efisien. Dengan mengurangi nilai nol, maka aktivitas ekonomi akan semakin sederhana. Misalnya untuk pecahan Rp1.000 dalam pengucapan maupun penulisan pada transaksi sehari-hari tentu akan lebih panjang ketimbang jika menggunakan nominal Rp1.

Kedua, penyederhanaan rupiah akan membuat rupiah semakin berdaulat dan bergengsi. Hal ini dapat membuat rupiah bisa sejajar dengan mata uang negara lain. Misalnya, saat ini US$1 bernilai Rp15.000. Setelah dilakukan kebijakan redenominasi, maka US$1 akan bernilai Rp15. Jadi, seolah-olah terlihat bahwa perbedaan nilai rupiah dengan dolar tidak begitu jauh dibandingkan saat sebelum redenominasi.

Ketiga, redenominasi dapat membuat waktu transaksi menjadi lebih cepat. Jika sebuah mata uang memiliki banyak angka nol di belakangnya (contohnya 1.000.000 atau 1.000.000.000), maka perhitungan dan pencatatan dalam transaksi sehari-hari bisa menjadi rumit dan memakan waktu. Dengan melakukan redenominasi dan menghilangkan beberapa nol, angka menjadi lebih kecil dan lebih mudah dioperasikan.

Keempat, dapat mengurangi risiko human error. Dengan jumlah digit yang lebih sedikit, maka perhitungan keuangan menjadi lebih mudah dan efisien. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan perhitungan, seperti kesalahan pencatatan, kesalahan penjumlahan, dan kesalahan pembukuan. Kelima, efisiensi pencantuman harga barang dan jasa.

Risiko Redenominasi

Manfaat-manfaat yang dihasilkan dari kebijakan redenominasi tersebut diiringi oleh risiko-risiko yang mungkin akan terjadi. Seperti misalnya, kebijakan redenominasi akan menghabiskan banyak biaya untuk mencetak uang desain baru dan biaya sosialisasi kepada masyarakat.

Selain itu, redenominasi dapat menyebabkan inflasi sementara akibat penyesuaian harga barang dan jasa. Hal ini terjadi karena produsen dan pedagang akan memanfaatkan momen redenominasi untuk menaikkan harga barang dan jasa mereka.

Kemudian, hal tersebut akan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat. Pasalnya, jika terjadi kenaikan harga secara berlebihan setelah redenominasi, daya beli masyarakat dapat menurun. Hal ini dapat memengaruhi tingkat konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Tahapan Redenominasi oleh BI

Sebagai otoritas moneter, BI dikabarkan telah memiliki kajian tentang redenominasi sejak tahun 2010. Dalam kajian itu, disebutkan ada lima tahapan terkait pelaksanaan redenominasi rupiah. Tahap pertama, yaitu pada 2010, BI melakukan studi banding tentang redenominasi di beberapa negara. Saat itu, BI melihat negara mana saja yang berhasil menerapkan kebijakan redenominasi dan negara mana saja yang gagal menerapkan kebijakan tersebut.

Tahap kedua, tepatnya pada 2011-2012 merupakan masa sosialisasi. Tahapan inilah yang melatarbelakangi pada tahun 2013 lalu mulai muncul wacana terkait redenominasi rupiah. 

Tahap ketiga (2013-2015) seharusnya merupakan masa transisi ketika ada dua nominal mata uang. Kemudian, pada tahap keempat, yakni di tahun 2016-2018, seharusnya merupakan masa penarikan uang lama. BI akan memastikan uang lama yang belum dipotong jumlah nolnya akan benar-benar habis dengan batas penarikan pada 2018.

Terakhir, pada tahun 2019-2020, uang baru yang telah diredenominasi akan diedarkan. Masyarakat siap melakukan pembayaran dengan uang yang telah diredenominasi.

Sudah Ada Kajian, Kok Maju Mundur Terus?

Meskipun kajian terkait redenominasi rupiah tersebut sudah dibuat sejak puluhan tahun lalu, namun hingga sekarang belum sempat terlaksana. Perry mengungkapkan kondisi ekonomi Indonesia belum siap untuk melaksanakan kebijakan redenominasi tersebut. Ia mengatakan bahwa ekonomi Indonesia masih terkena rambatan dari perlambatan ekonomi global.

"Sekarang masih spill over rambatan dari global masih berpengaruh terhadap stabilitas sistem keuangan kita. Juga kan (perekonomian domestik) bagus stabil, tapi dari global kan masih ada (risiko)," bebernya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam menjelaskan bahwa untuk menerapkan kebijakan redenominasi diperlukan dukungan dari sistem politik dan juga hukum. Tidak bisa hanya dilakukan sendiri oleh BI.

“Memang untuk melakukannya sangat memerlukan keputusan politik. Ada payung hukumnya. Bank Indonesia tidak bisa melakukannya sendiri,” tuturnya dikutip dari kanal YouTube KompasTV Pontianak, Selasa (29/8/2023).

Lantas, Kapan Waktu yang Tepat untuk Redenominasi?

Perry melanjutkan, terdapat tiga faktor yang memengaruhi keputusan kapan waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi.

“Tentu saja keputusan mengenai timing yang tepat mengenai redenominasi ada tiga faktor. Satu, kondisi makronya itu memang bagus. Yang kedua, kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangannya stabil. Dan yang ketiga, kondisi sosial politiknya juga kondusif, mendukung, positif,” bebernya.

Ia menegaskan, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi. Dengan demikian, Perry meminta agar masyarakat bersabar. Pasalnya, redenominasi adalah kebijakan yang membutuhkan perhatian besar dan pemerintah adalah pihak yang akan memutuskan.

"Jadi, sabar kalau di pemerintah yang lebih tahu untuk di dalam negeri," tegasnya.

Baca Juga: Ketidakpastian Global Meningkat, BI Pastikan Nilai Rupiah Tetap Terjaga

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: