
Di Jawa Barat, lanjut Saiful, untuk pemilihan presiden, partai tidak begitu penting. Yang terpenting adalah calonnya, dalam hal ini Prabowo Subianto. Pada Pemilu 2019, partai pendukung Prabowo lebih sedikit dibanding partai-partai pendukung Jokowi. Berbeda dengan Pilpres 2014, di mana partai pendukung Prabowo lebih banyak dibanding Jokowi.
“Partainya bisa jadi memilih calon A,“ namun pilihan tetap menjadi hak prerogatif saya, ”kata orang Jawa Barat,” jelas Saiful.
Walaupun PDI Perjuangan cukup besar, lanjut Saiful, namun hanya sendirian. Partai seperti PPP yang sudah mendukung Ganjar, namun di tingkat massa, belum tentu partai ini memilih Ganjar.
Saiful menilai partai begitu lemah di mata pemilih Jawa Barat. Partai tidak cukup menjembatani antara pemilih dengan calon presiden. Harapannya partai menjadi semacam penghubung antara pemilih dengan calon presiden. Namun dalam konteks Jawa Barat dan mungkin secara umum di Indonesia, hal tersebut tidak terjadi. Publik langsung punya sikap sendiri terhadap calon presiden.
Bagaimana dengan persaingan calon presiden? Dalam survei SMRC 31 Juli – 11 Agustus 2023, Ganjar dipilih 31 persen, Prabowo 57 persen. Angka ini tidak mengalami perubahan dalam tiga kali survei terakhir (Mei, Juli, dan Juli-Agustus 2023). Ada fluktuasi suara, namun secara umum Prabowo di atas Ganjar.
Fakta ini, menurut Saiful, menjadi tantangan yang sangat kuat bagi Ganjar. Kalau Ganjar ingin menang, dia tidak boleh kalah terlalu banyak di Jawa Barat. Karena kalau selisihnya, misalnya 30 persen, itu akan terlalu berat untuk Ganjar menang secara nasional.
“Walaupun Ganjar unggul di provinsi lain, namun jika ia kalah terlalu jomplang di Jawa Barat, hasil akhirnya secara nasional akan memperberat Ganjar berhadapan dengan Prabowo,” jelasnya.
Saiful menjelaskan mengapa simulasi yang dimunculkan hanya dua nama, karena dalam hasil hampir semua survei opini publik, ada kecenderungan yang paling kompetitif adalah dua nama tersebut, Ganjar dan Prabowo. Karena itu, dua nama tersebut yang paling berpotensi bertarung di putaran kedua. Dan sekarang, Prabowo masih unggul di Jawa Barat melawan Ganjar.
Ditanya apakah faktor agama memainkan pengaruh mengapa kecenderungan warga Jawa Barat memilih Prabowo dibanding Ganjar atau Jokowi? Saiful meragukan hal tersebut. Dia mempertanyakan apakah Prabowo terlihat lebih Islami dibanding Ganjar? Baik Prabowo maupun Ganjar, kata dia, keduanya berasal dari tradisi politik nasionalis. Prabowo tidak mengidentikkan dirinya sebagai kelompok Islam tertentu. Dia juga tidak menyatakan dirinya lebih Islam dibanding yang lain. Dia pun tidak aktif di kegiatan-kegiatan Ormas Islam. Dalam hal-hal semacam itu, Prabowo kurang lebih sama dengan Jokowi dan Ganjar, bahkan mungkin Ganjar sedikit lebih dekat ke Islam, misalnya karena istrinya adalah seorang nyai atau santri.
Saiful melihat, pola atau perilaku memilih warga dalam Pilpres mungkin tidak terkait dengan Islam dalam pengertian afilisasi calon pada kelompok Islam tertentu, tapi mungkin terkait dengan Islam sebagai fakta sejarah di Jawa Barat.
“Yang lebih dominan mungkin adalah sentimen perlawanan masyarakat Jawa Barat pada kecenderungan yang dominan dalam politik nasional. Dalam sejarah, di Jawa Barat adalah kerajaan Pajajaran atau kerajaan Sunda. Di wilayah ini juga muncul gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sementara Jokowi, juga Ganjar, adalah representasi politik Jawa yang dominan. Orang Jawa Barat ingin melihat perlawanan pada dominasi tersebut. Prabowo juga orang Jawa, namun di mata pemilih Jawa Barat, Prabowo terlihat melawan dominasi atau orang yang dominan tersebut. Prabowo dianggap sebagai wakil perlawanan mereka dalam konteks politik nasional. Namun ini adalah salah satu tafsir yang membutuhkan eksplorasi data lebih jauh,” pungkasnya.
Baca Juga: Momen Sinta Nuriyah Doakan Prabowo Subianto, Yenny Wahid: Bukan Cuma Restu
Populasi survei adalah seluruh warga negara Indonesia di Provinsi Jawa Barat yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dalam survei terakhir (31 Juli-31 Agustus 2023) sampel sebanyak 650 responden dipilih secara random (stratified multistage random sampling) dari populasi tersebut dengan jumlah yang proporsional di setiap dapil. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 529 atau 81%. Sebanyak 529 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan jumlah sampel tersebut secara nasional diperkirakan +/- 4.3% pada tingkat kepercayaan 95%, asumsi simple random sampling. Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 31 Juli – 11 Agustus 2023.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement