Reku Usul Pajak Kripto Jangan Tumpul ke Dalam, Perlu Mitigasi Pengguna Transaksi di Luar Negeri
Platform bursa dan pasar kripto berbasis di Indonesia, Reku menanggapi adanya regulasi perpajakan transaksi aset kripto sebesar 0,11% PPN pembelian aset kripto dan 0,1% PPH penjualan aset kripto. Perusahaan menilai, pajak jangan hanya tumpul ke dalam negeri, melainkan perlu adanya mitigasi risiko terhadap pengguna yang bertransaksi kripto di luar negeri, yang cenderung murah dan tidak dibebani pajak.
Chief Compliance Officer (CCO) Reku sekaligus Ketua Umum ASPAKRINDO, Robby Bun mengatakan, kondisi perdagangan kripto di Indonesia tidak begitu sehat, karena pajak ke dalam yang cukup tajam, tetapi tumpul ke luar.
Baca Juga: Regulator Korea Selatan Mulai Fokus pada Perdagangan Kripto di Bursa Ilegal
“Bagi kami, pedagang fisik aset kripto itu semua aturan wajib diikuti, tidak boleh ada keterlambatan,” ujar Robby saat memaparkan kondisi perpajakan kripto di Indonesia di acara bertajuk “Workshop Fundamental Kripto dan Mengupas Tren serta Tantangannya di Indonesia” di Jakarta pada Selasa (19/9/2023).
Kini, Reku beserta calon pedagang fisik aset kripto (CPFAK) lainnya mengejar keadilan pajak agar tidak tumpul ke luar, yakni dengan mitigasi risiko pengguna yang melakukan transaksi di luar negeri, yang mereka belum tentu legal dan absah.
“Kenapa saya sebut pajak juga? Karena [transaksi di luar negeri] pasti lebih murah, tidak ada pajaknya. Tapi bagi teman-teman, yang efek dominonya belum terlihat di belakangnya. Tiba-tiba punya kekayaan yang signifikan naik, misal punya Rp400 juta, naik keRp1,5 miliar, sumber dananya dari mana? Kalau bisa dibuktikan bahwa transaksi itu dari luar negeri, itu transaksinya sudah dilakukan secara ilegal,” beber Robby.
Menurut Robby, hadirnya pajak di bursa kripto akan membantu investor kripto untuk mencatat transaksi trading dan investasinya, yang kata Robby adalah “tidak perlu lagi pusing, pajaknya bagaimana? Itu pajaknya final, sudah tercatat.”
“Secara undang-undang sudah ada yang mengatur, peraturan Bappebti sudah ada, ekosistem sudah muncul, perpajakan sudah clear. Tinggal pelaksanannya mau kapan?” pungkas Robby.
Hingga saat ini, jumlah transaksi kripto di Indonesia pada tahun 2023—termasuk bulan Agustus 2023—sebesar Rp66 triliun. Angka ini termasuk mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2020 sebesar Rp64,9 triliun dengan 4 juta investor, tahun 2021 mencapai Rp859,4 triliun dengan 11 juta investor, dan tahun 2022 mencapai Rp306 triliun dengan 16,7 juta investor. Penurunan tersebut akibat implementasi pajak kripto.
“Tahun ini, lebih sedikit secara signifikan lagi. Karena hadirnya bursa kliring dan KSEI, ini ada penambahan biaya transaksi, yakni biaya untuk bursa, kliring, KSEI. Karena ketiga lembaga dan ekosistem hadir ini butuh operasional, butuh biaya,” tutup Robby.
Baca Juga: Strategi CEO Reku Jaga Amanah Investor dan Pemerintah di Industri Kripto
Reku sendiri menargetkan pada akhir tahun 2023, perusahaan dapat mencapai angka volume transaksi sebesar Rp150 triliun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement