Kredit Foto: MPR
“Sebab selain tidak ada kewajiban mengambilnya, hal itu jelas menjurus kepada nepotisme yang ditolak oleh tuntutan Reformasi. Demikian juga ayahnya, yaitu Presiden Jokowi, agar menghadirkan kenegarawanan dengan tidak mengizinkan Walikota Solo yang adalah anaknya itu untuk maju sebagai cawapres, sekalipun MK membolehkannya,” jelasnya.
Semata-mata demi kebaikan eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi berbasis hukum, bukan negara kekuasaan, dan untuk menepis soal nepotisme, agar meninggalkan legacy kenegarawanan yang akan mengharumkan nama beliau dan anaknya dan menyelamatkan Indonesia sebagai negara hukum juga.
Baca Juga: Kornas Nilai Tak Ada Benang Merah Soal Jalan Politik Gibran dan Putusan MK
“Karena Pasal 171 ayat (1) dan ayat (4) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan kepala daerah yang akan maju capres atau cawapres harus meminta izin Presiden. Maka bila Presiden Jokowi memberikan izin, publik akan mendapat konfirmasi bahwa dugaan adanya cawe-cawe Presiden Jokowi dalam pemilu/pilpres, sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, memang semakin terbukti, benar adanya,” ujarnya.
HNW menjelaskan Rakyat yang oleh Konstitusi disebut sebagai pemilik kedaulatan untuk memilih Capres/cawapres, harusnya terus memperhatikan dan menyimak bagaimana ‘kesempatan’ itu diberikan dengan cara-cara yang aneh dan membingungkan.
“Ini bisa dibaca di dalam dissenting opinion (pendapat berbeda), dimana Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam putusan itu menyatakan secara terbuka rasa bingung dengan perubahan sikap mayoritas hakim MK. Kalau Wakil Ketua MK saja bisa bingung dengan putusan tersebut, apalagi dengan Rakyat,” ujarnya.
Sebagai informasi, putusan ini tidak dibuat secara bulat oleh para hakim MK. Dari sembilan hakim MK, lima hakim setuju mengabulkan permohonan, dan empat hakim (termasuk Wakil Ketua MK Saldi Isra) menolak permohonan karena berpandangan MK seharusnya konsisten pada putusannya terdahulu. Meski begitu, HNW mengatakan rakyat yang memperhatikan dan menyimak inkonsistensi yang membingungkan itu yang nanti akan menjadi ‘hakim’ dalam pemilu/pilpres mendatang.
“Rakyat saat ini sudah semakin kritis dengan segala fenomena dan akrobat yang terjadi menjelang pemilu/pilpres ini. Maka sekalipun ada putusan MK ini bukan berarti Rakyat tidak boleh memilih capres/cawapres di luar dari yang diuntungkan akibat dari putusan tersebut, atau harus memilih capres dengan cawapres yang sesuai dengan keputusan MK itu, sekalipun tidak sesuai dengan tuntutan reformasi dan konsistensi putusan MK,” jelasnya.
Baca Juga: MK Memutuskan, KORNAS Yakin Gibran Tak Akan Maju di Pilpres 2024
“Pada akhirnya Rakyat yang akan menjadi hakim dan menentukan masa depan Indonesia di bilik suara. Sekalipun Ayah dan Anaknya ‘ngotot’ memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh 5 hakim MK tersebut. Dan sekalipun demikian, Rakyat mestinya juga tetap mempergunakan kedaulatannya dengan memperhatikan, mengawal dan mengawasi penyelenggaraan pemilu/pilpres agar tetap dilaksanakan secara jujur dan adil sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Agar hasil Pemilu termasuk Pilpres benar-benar lebih berkualitas dan mempunyai legitimasi,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement