Cisco: Hanya 20% Perusahaan di Indonesia yang Siap untuk Memanfaatkan Teknologi AI
Urgensi untuk menerapkan teknologi dengan dukungan AI telah meningkat di perusahaan di Indonesia dalam enam bulan terakhir, namun nenurut AI Readiness Index pertama Cisco yang baru dirilis, hanya 20% dari organisasi di Indonesia yang sepenuhnya siap untuk menerapkan dan memanfaatkan teknologi yang didukung oleh Artificial Intelligence (AI).
Penelitian yang mensurvei lebih dari 8.000 perusahaan dunia ini dikembangkan sebagai respon terhadap percepatan pengadopsian AI, pergantian generasi yang berdampak kepada hampir semua bidang bisnis dan kehidupan sehari-hari. Laporan ini menyoroti kesiapan perusahaan untuk menggunakan dan menerapkan AI, menunjukkan kesenjangan kritis di semua pilar bisnis utama dan infrastruktur yang memberikan risiko serius dalam waktu dekat.
Penelitian baru ini menemukan bahwa pengadopsian AI berkembang secara lambat selama puluhan tahun, namun kemajuan Generative AI, yang tersedia untuk umum pada tahun lalu, mendorong perhatian lebih besar terhadap tantangan, perubahan dan peluang baru yang dimunculkan oleh teknologi ini. Meskipun 89% responden yakin bahwa AI akan memiliki dampak signifikan terhadap operasional bisnis mereka, AI juga akan menimbulkan masalah baru dalam hal privasi dan keamanan data. Hasil temuan dari Index ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan menghadapi tantangan paling besar dalam pemanfaatan AI bersama dengan data mereka. Bahkan, 76% responden mengakui bahwa hal ini terjadi karena data terkotak-kotak di dalam organisasi mereka.
Namun, ada juga berita positif. Penemuan dari Index ini mengungkap bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mengambil banyak langkah proaktif untuk bersiap menghadapi masa depan yang terpusat pada AI. Ketika berbicara tentang pengembangan strategi AI, 99% dari organisasi sudah memiliki strategi AI yang kuat atau dalam proses untuk mengembangkan strategi tersebut. Lebih dari dua pertiga (86%) organisasi diklasifikasikan sebagai Pacesetter atau Chasser (sepenuhnya siap /cukup siap), dan tidak ada yang masuk dalam kategori Laggards (tidak siap). Ini mengindikasikan level fokus yang signifikan dari eksekutif di tingkat direksi (C-Suite) dan pemimpin IT. Hal ini mungkin didorong oleh fakta bahwa semua responden menyatakan bahwa urgensi untuk menerapkan teknologi AI di dalam organisasi mereka telah meningkat dalam enam bulan terakhir, dengan infrastruktur IT dan keamanan siber dilaporkan sebagai bidang yang menjadi prioritas utama untuk penerapan AI.
“Ketika perusahaan bergegas menerapkan solusi-solusi AI, mereka harus menilai di mana investasi dibutuhkan untuk memastikan infrastruktur mereka bisa mendukung permintaan dari beban kerja AI,” kata Liz Centoni, Executive Vice President dan General Manager, Applications and Chief Strategy Officer, Cisco. “Organisasi juga harus bisa mengobservasi dengan konteks bagaimana AI digunakan untuk memastikan ROI, keamanan dan terutama tanggung jawab.”
Hasil Temuan Utama
Di samping hasil temuan nyata bahwa secara keseluruhan, hanya 20% perusahaan yang merupakan Pacesetters (sepenuhnya siap), penelitian ini juga mengungkapkan bahwa 29% perusahaan di Indonesia dianggap Laggards (tidak siap) dengan tingkat kesiapan hanya 1%, atau Followers (kesiapan terbatas) di 28%. Beberapa dari penemuan yang paling signifikan termasuk:
URGENSI: Maksimal satu tahun sebelum perusahaan mulai melihat dampak negatif bisnis. 68% dari responden di Indonesia yakin bahwa mereka memiliki maksimal satu tahun untuk mengimplementasikan strategi AI sebelum organisasi mereka mulai merasakan dampak negatif bisnis yang signifikan
STRATEGI: langkah pertama adalah strategi, dan organisasi-organisasi berada di jalan yang tepat. Lebih dari tiga perempat (86%) organisasi dikategorikan sebagai Pacesetters atau Chasers, dan tidak ada yang berada di kategori Laggards. Selain itu, 99% organisasi sudah memiliki strategi AI yang sangat jelas, atau sedang dalam proses untuk mengembangkan strategi tersebut, yang merupakan sinyal positif, namun menunjukkan ada lebih banyak hal yang harus dilakukan.
INFRASTRUKTUR: Jaringan tidak siap untuk memenuhi beban kerja AI. 95% bisnis di dunia sadar bahwa AI akan meningkatkan beban kerja infrastruktur, namun di Indonesia 47% organisasi menganggap infrastruktur mereka sangat skalabel. Sementara (35%) mengindikasikan bahwa mereka memiliki skalabilitas terbatas atau tidak skalabel sama sekali dalam menjawab tantangan AI baru dalam infrastruktur IT mereka. Untuk mengakomodasi permintaan meningkat akan daya dan komputasi AI, lebih dari enam dari 10 (65%) perusahaan akan membutuhkan data center graphics processing units (GPU) lebih besar untuk mendukung beban kerja AI saat ini dan di masa datang.
DATA: Organisasi tidak bisa mengabaikan pentingnya memiliki data yang ‘siap AI.’ Meskipun data berfungsi sebagai tulang punggung yang dibutuhkan untuk operasional AI, data juga merupakan area dengan kesiapan paling lemah, yakni memiliki jumlah Laggards terbesar (5%) dibandingkan dengan pilar-pilar lain. Sebanyak 78% dari semua responden mengklaim sampai batas tertentu data mereka terkotak-kotak (siloed) atau terfragmentasi dalam organisasi mereka. Hal ini memberikan tantangan sangat besar karena kompleksitas integrasi data yang ada di berbagai sumber dan menjadikannya tersedia untuk implikasi AI bisa memberikan dampak pada kemampuan untuk memanfaatkan potensi penuh dari aplikasi ini.
TENAGA KERJA: Kebutuhan akan keterampilan AI menunjukkan adanya kesenjangan digital era baru. Dewan Direksi dan Tim Kepemimpinan adalah yang paling mungkin merangkul perubahan yang dibawa oleh AI, dengan masing-masing 80% menunjukkan penerimaan yang tinggi atau sedang. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk melibatkan manajemen tingkat menengah di mana 16% memiliki penerimaan yang terbatas atau tidak sama sekali terhadap AI, dan di antara karyawan karena hampir sepertiga (31%) organisasi melaporkan bahwa kesediaan karyawan untuk mengadopsi AI terbatas atau bahkan menolaknya. Meskipun 95% responden mengatakan bahwa mereka telah berinvestasi dalam meningkatkan keterampilan karyawan yang ada, hanya sedikit (3%) yang menyinggung kesenjangan AI yang muncul, yang mengungkapkan keraguan tentang ketersediaan talenta yang cukup untuk meningkatkan keterampilan.
TATA KELOLA: Awal yang lambat dalam pengadopsian kebijakan AI. Sebanyak 67% dari organisasi melaporkan bahwa mereka tidak memiliki kebijakan AI menyeluruh, area yang harus ditangani saat perusahaan mempertimbangkan dan menentukan semua faktor yang memberikan risiko yang menggerus keyakinan dan kepercayaan. Faktor-faktor ini termasuk privasi data dan kedaulatan data, dan pemahaman dan kepatuhan dengan peraturan dunia. Selain itu, perhatian besar harus diberikan kepada konsep bias, keadilan, dan transparansi baik di data maupun algoritma.
BUDAYA: Sedikit persiapan, namun bermotivasi tinggi untuk menjadikannya prioritas. Pilar ini memiliki jumlah Pacesetter terendah (7%) dibandingkan dengan kategori lainnya yang sebagian besar didorong oleh fakta bahwa 7% perusahaan belum membuat rencana manajemen perubahan dan dari mereka yang telah melakukannya, 69% masih dalam proses. Eksekutif level direksi adalah yang paling mudah menerima perubahan AI internal dan harus memimpin dalam mengembangkan rencana komprehensif dan mengkomunikasikannya dengan jelas kepada manajemen menengah dan karyawan yang memiliki tingkat penerimaan yang relatif lebih rendah. Kabar baiknya adalah adanya motivasi yang tinggi. Lebih dari delapan dari 10 (86%) mengatakan bahwa organisasi mereka merangkul AI dengan tingkat urgensi yang sedang hingga tinggi. Hanya 1% yang mengatakan bahwa mereka menolak perubahan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi
Tag Terkait:
Advertisement