Hasto Kristiyanto Disebut Jadi Tumbal Dendam Politik, KPK Disebut Jadi Tunggangan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto (HK) telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI yang melibatkan Harun Masiku (HM). Tindakan KPK ini menuai berbagai pandangan dari publik terkait independensi dan profesionalisme lembaga tersebut.
Salah satu pihak yang menyampaikan pandangan itu adalah Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang terdiri dari Petrus Selestinus, Erick S. Paat, Carrel Ticualu, Robert B. Keytimu, Paulet J.S. Mokolensang, Pitria Indriningtiyas, Ricky D. Moningka, dan Davianus Hartoni Edy.
TPDI menganggap bahwa penetapan status tersangka kepada HK dapat memunculkan persepsi bahwa KPK dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Beberapa pihak menilai hal ini berpotensi mengaitkan institusi tersebut dengan agenda politik pemerintahan sebelumnya.
Situasi ini memunculkan keprihatinan di tengah upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, sebagaimana visi yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun, persepsi adanya politisasi hukum dan institusi hukum tetap menjadi tantangan yang harus dihadapi, termasuk oleh KPK dan institusi penegak hukum lainnya seperti Polri dan Kejaksaan.
Ada pandangan yang menilai bahwa KPK berpotensi digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Persepsi ini muncul dengan menyebut adanya istilah "Partai Perorangan," yang dinilai belum memiliki bentuk formal, namun dioperasikan oleh pihak-pihak yang diduga memiliki kedekatan dengan pemerintahan sebelumnya. Istilah seperti "Partai Perorangan" dan "Partai Coklat" kerap digunakan untuk menggambarkan dugaan keterlibatan aktor-aktor politik dalam pengambilan keputusan tertentu.
Quo Vadis Negara Hukum
Penetapan Hasto Kristiyanto (HK) sebagai tersangka oleh KPK pada 23 Desember 2024 menarik perhatian publik, terutama karena kasus ini muncul kembali setelah perkara pokoknya diputus oleh Mahkamah Agung pada 2 Juni 2021 dan memiliki kekuatan hukum tetap. Setelah lebih dari tiga tahun berlalu, penyidikan kembali dibuka dengan ekspos publik yang tinggi terkait penetapan HK sebagai tersangka, yang oleh sebagian pihak dinilai terjadi setelah HK menyampaikan kritik terhadap pemerintahan sebelumnya.
Kasus ini dianggap unik, mengingat sebelumnya penyidikan telah dinyatakan selesai tanpa melibatkan HK sebagai pihak yang diproses hukum. Putusan Mahkamah Agung pun telah dieksekusi. Namun, lima tahun kemudian, nama HK muncul kembali dan ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus suap serta perintangan penyidikan. Situasi ini menimbulkan implikasi hukum yang signifikan, termasuk potensi perubahan terhadap putusan sebelumnya.
Model penetapan tersangka pasca putusan berkekuatan hukum tetap ini menjadi preseden baru yang memunculkan berbagai pandangan. Sebagian pihak mengkritik bahwa langkah ini menimbulkan pertanyaan terkait profesionalisme dan independensi KPK, serta kekhawatiran adanya politisasi lembaga penegak hukum, meskipun pemerintahan telah berganti di era Presiden Prabowo Subianto.
TPDI menilai bahwa pemerintahan Jokowi secara sistematis mempersiapkan langkah-langkah politik tertentu sebelum masa jabatannya berakhir. Salah satu dugaan adalah upaya membangun kekuatan politik melalui apa yang disebut sebagai "Partai Perorangan" untuk menjaga pengaruh politiknya setelah tidak lagi menjabat.
Dalam pandangan TPDI, KPK disebut sebagai salah satu alat yang digunakan untuk menghadapi lawan-lawan politik dengan mengambil langkah-langkah hukum yang dianggap bertujuan membungkam pihak-pihak tertentu. Termasuk di dalamnya adalah dugaan adanya upaya yang melibatkan revisi atau penafsiran ulang terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, seperti pada kasus suap Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri.
Memeras Pengakuan
Penyidik KPK diduga melakukan praktik yang dinilai sebagai bentuk tekanan untuk mendapatkan pengakuan dan merangkai keterangan saksi-saksi, seperti Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah. Dugaan ini termasuk penyebutan bahwa uang sebesar Rp680 juta yang diberikan kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagian berasal dari Hasto Kristiyanto (HK).
Tekanan terhadap saksi atau tersangka, yang dikaitkan dengan pola kerja penyidikan pada masa Orde Baru, disebut masih terjadi. Dalam hal ini, Saeful Bahri, Donny Tri Istiqomah, dan beberapa saksi lain yang diperiksa pada Juni dan Juli 2024 diduga mengalami intimidasi. Hasil dari proses tersebut kemudian dinilai digunakan untuk membangun narasi atau rangkaian peristiwa yang seolah-olah menunjukkan keterlibatan HK dalam kasus suap tersebut.
Konstruksi hukum yang dihasilkan dari penyidikan KPK terkait penetapan HK sebagai tersangka dianggap berpotensi mengacaukan hasil penyidikan sebelumnya, surat dakwaan Penuntut Umum KPK, hingga putusan pengadilan dan Mahkamah Agung terkait perkara suap dengan terdakwa Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri.
Hal ini dikarenakan hasil penyidikan sebelumnya yang telah dinyatakan lengkap dan valid oleh Penuntut Umum KPK, serta telah diuji di pengadilan secara terbuka, menemukan bahwa pihak-pihak yang terlibat hanyalah Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina sebagai penerima suap, serta Saeful Bahri dan Harun Masiku (HM) sebagai pemberi suap. Dalam proses tersebut, HK juga telah memberikan keterangan sebagai saksi di bawah sumpah, yang memperkuat konstruksi hukum awal.
KPK Sendiri Merintangi
Kegagalan KPK dalam menangkap Harun Masiku (HM) hingga saat ini sering dijadikan sorotan oleh berbagai pihak. Beberapa pihak menilai bahwa kegagalan ini dapat mengindikasikan adanya kendala internal dalam KPK sendiri. Dengan kewenangan yang luas, alat penyadapan yang canggih, serta kemampuan operasi yang dimiliki KPK, sulit diterima jika kegagalan tersebut semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal. Ada dugaan bahwa kebocoran rencana Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari internal KPK menjadi salah satu penyebab utama kegagalan tersebut.
Dalam konteks penyelidikan dan penyidikan terhadap HM, yang saat ini masih berstatus buron, sebagian pihak berpendapat bahwa kegagalan menangkap HM dapat dikaitkan dengan dugaan keteledoran atau kebocoran informasi dari oknum tertentu di internal KPK. Jika benar terjadi, pihak-pihak terkait dalam institusi KPK yang diduga membocorkan informasi tersebut harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Berkaitan dengan hal tersebut, TPDI berpandangan bahwa penetapan tersangka atas nama Hasto Kristiyanto (HK) perlu ditinjau ulang. Sebab, berdasarkan bukti-bukti yang telah diuji dalam proses hukum sebelumnya, pihak yang terbukti memberikan suap kepada penyelenggara negara Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina adalah Saeful Bahri, sementara HM masih dalam status tersangka dan belum dapat dihadirkan untuk membuktikan keterlibatannya.
KPK Dinilai Tidak Berwenang
Pasal 11 Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK secara jelas membatasi ruang lingkup kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan pasal tersebut, KPK hanya berwenang menangani kasus korupsi yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, atau pihak lain yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; dan/atau
b. Menyangkut kerugian negara dengan nilai paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal yang sama juga mengatur bahwa kasus yang tidak memenuhi kriteria tersebut harus dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan untuk penanganan lebih lanjut.
Dalam kasus suap kepada Wahyu Setiawan, Komisioner KPU, jumlah uang yang diberikan oleh Saeful Bahri dan Harun Masiku tercatat sebesar Rp683.000.000,00. Nilai ini berada di bawah ambang batas Rp1 miliar yang ditetapkan dalam pasal 11 dan juga bukan termasuk kategori kerugian negara. Oleh karena itu, sesuai ketentuan pasal 11 UU No. 19 Tahun 2019, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus ini, termasuk yang menyangkut Harun Masiku (HM) dan Hasto Kristiyanto (HK), seharusnya diserahkan kepada kepolisian atau kejaksaan.
Namun, KPK tetap melanjutkan penyidikan dan penuntutan kasus tersebut, yang oleh sejumlah pihak dinilai bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pasal 11 ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa jika tindak pidana korupsi tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka KPK wajib menyerahkan penanganan perkara kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.
Dengan adanya dugaan pelanggaran ini, beberapa pihak menyerukan agar KPK segera menghentikan penanganan perkara yang dianggap tidak memenuhi kriteria kewenangan KPK. Selain itu, kekhawatiran terkait penggunaan KPK untuk tujuan politik juga menjadi isu yang perlu diperhatikan agar independensi dan profesionalisme lembaga ini tetap terjaga.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement