Dosen program studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Ristian Atriandi Suprianto mengatakan bahwa tindakan China di LCS harus diredam oleh negara-negara Asia Tenggara.
Bahkan Ristian mendorong agar Indonesia dan negara-negara ASEAN bersatu untuk menyelenggarakan patroli maritim bersama di wilayah LCS untuk mencegah tindakan provokasi dari China.
Baca Juga: Dorong Optimalisasi Energi Laut, Begini Strategi Kementerian ESDM
“Filipina harus kita tempatkan sebagai pihak yang paling tertekan karena dia adalah salah satu negara yang bersengketa dan juga bagian dari negara ASEAN. Dan juga dari sisi kekuatan komparasi, mau itu militer maupun paramiliter masih berada jauh di bawah kekuatan lain, yaitu China,” kata Ristian, dalam forum yang sama.
Persoalan China dengan Filipina, ujar Ristian, berpotensi menyeret negara-negara lain di Asia Tenggara. Tak hanya itu, Filipina yang didukung oleh Amerika Serikat sangat mungkin membawa negara-negara Barat lain terlibat.
"Tindakan provokatif China itulah alasan yang membuat Filipina berusaha mencari dukungan, tidak hanya dari Amerika Serikat dan Australia, tapi juga negara-negara lain, Kanada, Jepang, Inggris, Prancis dan bisa jadi akan bertambah. Jadi pelibatan negara-negara di atas harus dilihat sebagai akibat dari tindakan agresif dan provokatif China,” kata kandidat doktor dari Australian National University itu.
Peran Indonesia dan ASEAN Redam Agresivitas China
Indonesia dan negara-negara ASEAN perlu lebih serius memahami situasi yang berlangsung di LCS, termasuk memperhatikan tindakan agresif yang dilakukan China terhadap Filipina, kata Ketua FSI Johanes Herlijanto.
Dalam paparannya di seminar tersebut, Johanes menyebut Filipina telah lebih dulu mengambil langkah berbeda dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya untuk melawan China atas sengketa wilayah laut itu.
“Perlu dicatat bahwa Filipina telah mengambil berbagai langkah yang berbeda beda, salah satunya adalah mengajukan gugatan terhadap China kepada Mahkamah Arbritase Internasional di Den Haag, dengan hasil yang memperkuat posisi hukum Filipina dalam hal kepemilikan ZEE mereka di LCS,” tutur Johanes.
Ia mengingatkan bahwa hasil Mahkamah Arbritase Internasional pada 2016 itu bahkan menganggap klaim RRC di sebagian besar wilayah LCS tidak memiliki dasar hukum dan oleh karenanya tidak sesuai dengan UNCLOS.
“Namun China menolak untuk menaati keputusan mahkamah internasional di atas, sehingga Filipina nampaknya mencoba cara yang lebih halus, yaitu dengan membangun pertemanan dengan China, khususnya pada era kepresidenan (Rodrigo) Durtete,” lanjut Johanes.
Pemerhati China dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu juga menyampaikan bahwa ASEAN sebagai sebuah kekuatan regional di Asia Tenggara harus mampu memainkan peran hingga pada tataran yang dapat mencegah China bertindak agresif.
“Negara-negara ASEAN harus bersatu dan menyatakan sikap yang tegas terhadap provokasi dari China di LCS,” jelas Johannes.
Baca Juga: Tak Akan Hentikan Program Bansos Jokowi, Anies: Justru Dijadikan Plus!
"Hal itu jika negara-negara Asia Tenggara ingin menghindari pelibatan kekuatan-kekuatan dari luar kawasan dalam persoalan di LCS," pungkas Ketua FSI.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement