Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Propaganda Partisipatif Digital di Kampanye Pemilu

Propaganda Partisipatif Digital di Kampanye Pemilu Kredit Foto: Unsplash/Kaitlyn Baker
Warta Ekonomi, Jakarta -

Co-director Data & Democracy Research Hub, Monash University Indonesia Ika Idris mengatakan Indonesia sebagai negara dengan pengguna media sosial terbesar di Asia Tenggara mesti waspada dengan startegi propaganda partisipatif (participatory propaganda).

Bukannya tanpa alasan, menurut Ika, strategi propaganda di era digital tidak lagi menekanpan pada pendekatan top-down yang tepusat dari pembuat propaganda, namun telah berfokus untuk menggerakkan partisipasi audiens.

Sebagai contoh, Ika menyinggung pemilu presiden Amerika Serikat 2016 silam yang menurutnya banyak organisasi media, partisan media, ataupun konten creator menyebarkan pesan dengan judul click bait, dan meneguhkan polarisasi politik.

Di Indonesia, kata Ika, strategi ini jelas terlihat pada propaganda invasi Rusia ke Ukraina. Menurutnya, banyak jaringan penyebar propaganda Rusia di media sosial yang menyebarkan materi-materi secara massif, cepat, berulang, dan disampaikan melalui berbagai platform. Fitur platform media sosial yang memungkinkan audiens dan kreator untuk berinteraksi dan bermain-main dengan konten—misalnya melalui meme, sticker atau stich--membuat audiens tidak selalu sadar dengan disinformasi yang disampaikan.

Baca Juga: Publik Puas dengan Kinerja Jokowi, Kata Lembaga Survei karena Banyak Bagi-bagi Bansos

“Pada kasus penyebaran disinformasi invasi Rusia ke Ukraina, banyak konten kreator yang sebenarnya tidak sadar mereka turut menyebarkan propaganda. Mereka awalnya mengangkat isu itu karena ternyata engagement-nya tinggi. Akhirnya keterusan membuat konten, dan akhirnya terlibat aktif dalam ekosistem propaganda digital,” jelas Ika Hal dalam acara diskusi buku “Misguided Democracy in Malaysia and Indonesia: Digital Propaganda in Southeast Asia”, yang berlangsung Jumat (19/01/24) di Jakarta.

Pembuat konten alias Content Creator menurut Ika kerap kali tak sadar sedang melakukan aktivitas penyebaran berita palsu di dunia digital.

Menurut Ika, strategi propaganda di era digital tidak lagi menekankan pada pendekatan top-down yang tepusat dari pembuat propaganda, namun telah berfokus untuk menggerakkan partisipasi audiens atau netizen.

“Akibat strategi ini banyak dari pembuat konten yang tidak sengaja menjadi fake news entrepreneur (pengusaha berita palsu) atau menjadi bagian dari ekosistem propaganda digital,” ujar Ika.

Baca Juga: Ganjar Menguasai Pembahasan Soal Sengketa Laut China Selatan: Prabowo Kalah karena Sibuk Serang Balik Anies

Dalam kesempatan yang sama, peneliti departemen politik CSIS Noory Okthariza, mengatakan bahwa propaganda digital di Asia Tenggara masih belum banyak yang membahas kesamaan dan perbedaanya. Padahal, Indonesia dan Malaysia sama-sama adalah negara muslim terbesar di dunia. Ada narasi-narasi yang sama, seperti misalnya pada isu geopolitik Palestina dan Israel, China, dan Halal.

“Di tahun politik ini sebenarnya menarik untuk dicermati bagaimana efek dari propaganda ini pada kelompok gen-z yang sebenarnya lebih banyak tersebar di daerah dan kelompok Pendidikan menengah ke bawah,” ujar Oktha.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: