Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Studi Menyatakan, 85% Penduduk di Sekitar PLTU Tidak Menggantungkan Hidup Pada Aktivitas Pembangkitan

Studi Menyatakan, 85% Penduduk di Sekitar PLTU Tidak Menggantungkan Hidup Pada Aktivitas Pembangkitan Kredit Foto: PLN
Warta Ekonomi, Jakarta -

Yayasan Indonesia Cerah dan Institute for Policy and Development (Poldev) Unitrend, Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan 85% penduduk yang tinggal di daerah dekat PLTU batu bara di tiga wilayah tidak menggantungkan pendapatannya dari aktivitas PLTU batu bara, baik secara langsung atau tidak langsung.

Adapun PLTU yang dimaksud di antaranya adalah PLTU Cirebon-1, PLTU Pacitan, dan PLTU Pelabuhan Ratu, 

Studi ini juga menemukan bahwa kesehatan warga dengan rentan usia 14-44 tahun terganggu sejak ketiga PLTU tersebut beroperasi. Limbah fly ash yang dihasilkan baik oleh PLTU Cirebon-1 yang menggunakan batu bara berkapasitas penuh (100% coal) maupun PLTU yang menerapkan skema co-firing dengan biomassa seperti PLTU Pelabuhan Ratu dan Pacitan memicu banyak keluhan. 

Peneliti Poldev, Erythrina Orie mengatakan, dalam praktiknya partisipasi masyarakat lokal dalam transisi energi masih sangat kurang. 

"Hanya 1 dari 5 orang masyarakat sekitar PLTU yang terlibat secara aktif dengan komunitas lokal dalam agenda transisi energi. Inkonsistensi kebijakan pemerintah membuat masyarakat ragu untuk bertindak proaktif untuk transisi energi,” ujar Orie dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (1/2/2024). 

Baca Juga: PLN Indonesia Power Sukses Operasikan 4 PLTU 100% Biomass Firing

Orie mengatakan, ​​sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar PLTU tidak dapat menyuarakan pendapatnya dengan bebas karena kekhawatiran faktor ancaman dan fenomena premanisme, yang mana hal tersebut secara tidak langsung merubah tatanan sosio-kultural terhadap aksi kolektif dan partisipatif.

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwang mengatakan bahwa pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus memastikan agar rencana pemensiunan dua PLTU batu bara di Jawa Barat tersebut dapat terlaksana dengan benar. 

“Pemensiunan PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu harus dapat menjawab permasalahan pemulihan ekologi yang merupakan prinsip penting mengingat dampak buruk yang dimunculkan dari aktivitas PLTU begitu nampak dirasakan,” ujar Iwang. 

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Energi UGM Ahmad Rahma Wardana, menuturkan bahwa produksi listrik yang sentralistik, skala besar, dan berbahan bakar fosil atas nama efisiensi terbukti menjadi salah satu sebab hadirnya perubahan iklim. 

Baca Juga: ADB-ESDM Kolaborasi Guna Mengebut Pensiunnya PLTU di Indonesia

"Maka transisi energi harus mencakup dua hal, yakni menuju ke sistem energi yang desentralistik, skala komunitas, dan memakai energi terbarukan," ujar Ahmad. 

Ahmad menyayangkan, hingga saat ini kebijakan dan langkah pemerintah belum terlihat serius dalam proses transisi energi di Indonesia. 

"Hal ini terlihat dari bagaimana sikap pemerintah yang selalu konsisten dalam membuat kebijakan atau peraturan yang tidak sinkron dalam tatanan energi nasional” ujarnya. 

Disisi lain, JET Associate Yayasan Indonesia Cerah, Wicaksono Gitawan mengatakan, transisi energi berkeadilan, terlebih melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) harus terus dipantau di tahun 2024. 

"Seperti yang kita ketahui, PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu sudah masuk ke dalam rencana pensiun dini dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP dan akan menggunakan skema Energy Transition Mechanism (ETM). Tentunya, kami berharap bahwa pihak Asian Development Bank (ADB), selaku pihak yang menjalankan ETM akan transparan dalam proses pemensiunan dini PLTU, agar masyarakat tahu sudah sampai mana tahapan proses,” kata Wicaksono. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: