Pasar properti di China tengah mengalami krisis yang serius. China Evergrande Group, pengembang properti terbesar di China, baru-baru ini mendapatkan perintah likuidasi dari pengadilan Hongkong.
Keputusan ini telah menyebabkan anjloknya saham hingga 21 persen, dengan nilai pasarnya sekitar 2,15 miliar Hongkong dollar.
Baca Juga: Diboost Pariwisata, Eazy Properti Hadirkan Solusi Hunian di Bali
China Evergrande Group merupakan perusahaan properti yang mayoritas asetnya berupa aset fisik atau properti. Likuidasi Evergrande ini menjadi simbol krisis real estate di China. Keputusan pengadilan ini membuka ketidakpastian bagi pemegang obligasi, di mana likuidator akan menghadapi tantangan dalam mengelola aset di industri yang kekurangan likuiditas.
Menanggapi krisis tersebut, Ellen May Founder dan CEO Emtrade sekaligus seorang investor saham sejak 2007 mengatakan krisis ini mengingatkannya pada krisis subprime mortgage di Amerika. Namun, efek domino dari krisis ini tidak sebesar Leman Brothers yang mempengaruhi sektor keuangan secara langsung. Di Indonesia, sektor properti masih dinilai baik karena pemerintah masih gencar memberikan insentif.
"Meski begitu, utang jatuh tempo perusahaan-perusahaan properti akan meningkat, terutama di instrumen obligasi. Banyak perusahaan properti China yang juga meminjam di Euro dollar market. Kita belum tahu dampak penuhnya karena baru Evergrande yang terbuka, namun ada kecenderungan obligasi perusahaan-perusahaan properti yang masih akan cukup sizable sampai pertengahan tahun ini," ucap Ellen May, dikutip dari kanal YouTubenya, Minggu (11/02).
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi China melambat. Bank-bank di China mulai mengalihkan landing-nya ke sektor manufaktur dari sektor properti dan real estate. kendati begitu, jika produksi sektor manufaktur meningkat dan permintaan global tidak bisa menyerap, ekonomi China masih tetap melambat.
"Ini bisa berdampak pada Indonesia, karena banyak ekspor ke China, seperti nikel dan pig iron yang digunakan untuk membuat baja. Jika sektor properti di China melambat, impor nikel bisa melambat juga," ungkapnya.
Baca Juga: PT Luxey Sinergi Nusantara Produksi Massal UPVC Berkualitas, Properti Incaran Tahun 2024
Selain itu, kata dia, geopolitik juga berperan penting dalam situasi ini. Jika situasi geopolitik memanas, The Fed kemungkinan tidak akan terburu-buru menurunkan suku bunga, padahal di lain sisi China mengharapkan suku bunga menurun.
"Jika suku bunga global menurun, permintaan global diharapkan kembali naik," imbuh dia.
"Sektor komoditas di Indonesia masih agak slow down karena situasi di China. Namun, ada potensi upside jika China mulai melakukan restocking dan suku bunga turun. Investor harus tetap waspada dan mengikuti perkembangan pasar," tutup dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Naeli Zakiyah Nazah
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement