Centre for Research on Energy and Clean Air atau CREA (Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih) bersama dengan Center for Economic and Law Studies (CELIOS) meminta pemerintah untuk menumbuhkan keterlibatan aktif masyarakat dalam program hilirisasi nikel. Hal tersebut diungkapkan dalam laporan dengan judul "Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel".
"Menumbuhkan keterlibatan aktif masyarakat lokal melalui diskusi publik yang rutin dan pelaksanaan program komunikasi, pendidikan, dan kesadaran masyarakat," tulis laporan tersebut dikutip, Rabu (21/2/2024).
Pasalnya, masyarakat lokal mempunyai hak untuk sepenuhnya memahami dampak dari pembangunan industri nikel dan harus diikutsertakan dalam semua tahap pengambilan keputusan.
Selain itu, Crea dan Celios juga meminta agar pemerintah dapat membangun transparansi dan akuntabilitas data emisi dan izin lingkungan hidup di tingkat perusahaan, termasuk seluruh hasil pemantauan dan evaluasi.
Dimana, ketika data tersebut sudah tersedia untuk akses publik, pembuat kebijakan dapat mengambil keputusan yang tepat serta dapat menjaga kepercayaan publik.
Baca Juga: Melihat Untung Rugi Kebijakan Hilirisasi Nikel Pemerintahan Jokowi
"Ketersediaan data ini juga akan memberikan insentif kepada industri secara keseluruhan untuk menjaga akuntabilitas dan menunjukkan upaya mitigasi dan komitmen dalam praktik berkelanjutan," tulisnya.
Selanjutnya adalah dengan memperkuat tata kelola dengan melibatkan Pemerintah Daerah secara bermakna dalam pengawasan aktivitas terkait pertambangan dan pengolahan nikel, pemberian akses terhadap dokumen perencanaan perusahaan smelter, dan peran aktif dalam menanggapi keluhan masyarakat.
Kemudian, juga mempersiapkan peta jalan dan kebijakan teknis yang diperlukan untuk mendiversifikasi perekonomian lokal ke sektor non-ekstraktif yang memberikan nilai tambah lebih besar dan lebih berkelanjutan untuk pertumbuhan jangka panjang.
Crea dan Celios juga meminta agar pemerintah dapat menetapkan persyaratan ESG (Environmental, Social, and Governance/Lingkungan, Dampak Sosial, dan Tata Kelola) yang ketat di sektor keuangan.
"Bank harus menghindari pemberian pembiayaan kepada perusahaan yang gagal memenuhi standar perlindungan lingkungan dan tenaga kerja, dan mengintegrasikan pengungkapan ESG untuk menunjukkan integritas operasional," tulisnya.
Baca Juga: Harga Nikel Anjlok, Indonesia Harus Jangan Sampai Terlambat Antisipasi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga diharapkan dapat untuk merumuskan Taksonomi Berkelanjutan Indonesia dengan mengecualikan peluang pembiayaan PLTU kawasan industri sebagai pembiayaan hijau/transisi.
Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa, untuk menumbuhkan industri nikel Indonesia dengan mendiversifikasi pasar olahan dengan komoditas nikel berstandar tinggi untuk menstabilkan harga jual, khususnya sebagai respons terhadap Undang-Undang Pengurangan Inflasi AS (2022) dan Undang-Undang Mineral Kritis Uni Eropa.
"Secara konsisten mengembangkan rantai pasok nikel dalam negeri yang terintegrasi untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan dan transportasi listrik secara nasional dengan mengundang investasi yang menerapkan teknologi maju dan sadar lingkungan," tulisnya.
Selain itu, diperlukan adanya rereformasi prioritas insentif fiskal dengan mengikutsertakan industri daur ulang baterai, dibandingkan fokus saat ini yang hanya mencakup industri pertambangan dan pengolahan nikel.
Hal ini akan meningkatkan penggunaan mineral transisi daur ulang untuk Energy Saving Storage (ESS) dan penggunaan lain dalam teknologi energi terbarukan, yang akhirnya mendukung efisiensi penggunaan nikel dan membantu mengamankan ketersediaan cadangan nikel di Indonesia dalam jangka panjang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement