Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

ADB Beri Peringatan ke Uni Eropa Soal Tarif Batas Karbon

ADB Beri Peringatan ke Uni Eropa Soal Tarif Batas Karbon Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rencana Uni Eropa (UE) untuk memberlakukan tarif atas impor berkarbon tinggi dinilai bisa merugikan negara-negara berkembang di Asia. Asian Development Bank (ADB) dalam laporannya mengungkapkan bila rencana tersebut tidak akan menghasilkan penurunan besar dalam emisi gas rumah kaca. 

Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon atau The Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) ditujukan untuk mengatasi kekhawatiran bahwa penyerahan manufaktur telah membuat sebagian besar rantai pasokan UE berada di luar jangkauan skema perdagangan emisi (Emissions Trading Scheme/ETS)nya, suatu situasi yang digambarkan sebagai "kebocoran karbon".

CBAM sendiri dirancang untuk menyamakan ratakan antara pemasok asing dan domestik. Sehingga, pemasok asing membayar harga karbon yang sama dengan pemasok domestik, bahkan jika mereka tidak tunduk pada ETS atau pajak karbon di negara asal mereka.

Mengutip Reuters, ADB mengatakan CBAM akan membuat ekspor Asia ke UE turun, terutama dari Asia barat dan barat daya, dimana baja dari India juga kemungkinan akan terpengaruh.

“Namun, setiap penurunan kecil dalam emisi akan diimbangi oleh peningkatan produksi yang berintensitas karbon di Asia, dan mekanisme untuk berbagi teknologi pengurangan emisi akan lebih efektif, kata laporan tersebut. 

Baca Juga: Sistem Kontrol Impor 2 (ICS2) Rilis 3: Peningkatan Keamanan dan Keselamatan Transportasi Barang ke Uni Eropa

"Sebenarnya ini adalah kebijakan yang relatif terbatas saat ini," kata Neil Foster-McGregor, ekonom senior ADB. "Ini hanya impor ke UE (dan) hanya mencakup enam sektor.”

“Skala produksi tetap meningkat, meski penetapan harga karbon ini dilakukan lebih luas di seluruh dunia, Anda masih akan melihat peningkatan emisi kecuali kita melihat perubahan mendasar dalam teknik produksi," tambahnya.

CBAM bisa menghasilkan sekitar 14 miliar euro ($15,2 miliar) pendapatan pada tahun 2030, dan hasilnya harus digunakan untuk mendanai negara-negara berkembang untuk melaksanakan dekarbonisasi manufaktur, kata Foster-McGregor.

Salah satu tujuan CBAM adalah untuk mendorong ekonomi non-UE untuk memberlakukan kebijakan iklim yang lebih ketat. Jika negara-negara pengekspor dapat menunjukkan bahwa harga karbon sudah dibayar, tarif CBAM akan dikurangi.

Baca Juga: Respon Perubahan Iklim, Kemenkeu Terapkan Prinsip ESG dalam Pembiayaan Infrastruktur

India telah membahas kemungkinan memberlakukan pajak ekspor pada produk yang dicakup CBAM yang dijual ke Eropa, dan China sedang memperluas ETS-nya untuk mencakup sektor-sektor ekspor seperti baja.

Kedua negara telah mengkritik CBAM, China bahkan memperingatkan Eropa agar tidak menggunakan perubahan iklim sebagai alasan untuk terlibat dalam proteksionisme perdagangan.

Sementara CBAM berfungsi sebagai tarif bagi produsen asing, itu juga akan meningkatkan biaya bahan baku seperti baja dan pupuk untuk produsen UE di hulu, dan bahkan bisa memberi mereka insentif untuk memindahkan lebih banyak kapasitas produksi ke luar negeri, termasuk Asia, ADB memperingati.

"Sementara ada pengimbangan sebagian dari kebocoran karbon di hulu, bisa ada kebocoran karbon baru di hilir di UE ... Mereka sedang menembak diri sendiri di kaki," kata Jong Woo Kang, seorang ekonom senior ADB lainnya, dalam sebuah briefing pada hari Senin.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: