Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hutang Pemerintah, Beban atau Berkat?

Hutang Pemerintah, Beban atau Berkat? Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Keuangan baru saja merilis postur utang pemerintah. Beberapa hal menarik dari postur utang ini.

Pertama

Pemerintah tidak kuatir tambah utang. Utang yang lumayan banyak ini memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Robert Kiyosaki. Bagi sebuah entitas yang sedang tumbuh dan berkembang utang bukan suatu hal yang tabu. Bahkan dibutuhkan. Asalkan utang itu adalah utang baik yang dipakai untuk investasi. Bukan utang buruk. Pemerintah tetap berhutang karena pemerintah terus berinvestasi. Investasi itu antara lain pembangunan infrastructure besar-besaran di seluruh pelosok tanah air yang punya multiplyer effect yang sangat luas. 

Kedua

Utang itu harus tetap dalam batas aman. Utang pemerintah saat ini Rp.8,253 T atau 39,5% dari PDB sebesar Rp.20,892.4 T. Ini aman menurut konvensi international. Aman pula menurut Undang Undang Keuangan Negara yaitu maksimal 60%.

Ketiga

Porsi utang Pemerintah Rp.8,253 T itu ternyata bagian terbesarnya adalah utang kepada rakyatnya sendiri yaitu sebesar Rp.7,278 T atau 88.2 %. Utang pemerintah hampir semuanya berasal dari Surat Berharga Negara (SBN).

Ini menggambarkan keberhasilan Pemerintah dalam meningkatkan kemandirian pembiayaan dari sumberdaya domestik. Nampak jelas di sini meningkatnya peran masyarakat dalam pembangunan.

Keempat

Utang SBN itu didominasi rupiah yang berarti bebas dari fluktuasi nilai tukar mata uang. Itulah pula sebabnya kenapa nilai tukar rupiah yang melemah belakangan ini nyaris tidak berdampak pada kondisi perekonomian nasional. Kekuatiran orang bahwa akan terjadi krisis sebagaimana yang terjadi ditahun '98 tidak akan terjadi. Tidak ada tanda tanda kearah situ.

Hal menarik lainnya. Pinjaman pemerintah saat ini dengan tenor atau jangka waktu panjang ternyata melebihi 90 persen dari total utang. Alhasil, pemerintah sekarang bisa lebih leluasa ambil kebijakan investasi jangka panjang. Diantaranya pembangunan jalan, jembatan, bendungan, bandara, pelabuhan, pabrik, smelter dan banyak fasilitas lainnya diseluruh pelosok negri tanpa terkecuali.

Asal tahu saja, SBN ini terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Obligasi Negara Retail (ORI) yang jadi  program andalan SUN dan Sukuk yang jadi andalan SBSN diluncurkan hampir 2 bulan sekali dan selalu ludas terjual dalam tempo yang amat sangat singkat. Dilahap habis pasar perdana yang sangat greedy.

Selain menunjukkan kepercayaan investor domestik dan asing kepada pemerintah, SBN dan SBSN ini memang jauh lebih seksi ketimbang deposito, tabungan, investasi pasar modal, trading valas dan berbagai produk keuangan lain. Pasalnya selain yield SBN-SBSN lebih tinggi, pajaknya lebih rendah dan jaminan keamanannya langsung oleh negara.

Semua capaian pemerintah ini membawa ingatan saya kembali kemasa lalu. Masa di mana Indonesia seperti tidak punya harga diri. Waktu itu, 25 tahun lalu atau tepatnya tanggal 15 Januari 1998. 

Pemerintah yang sedang kesulitan uang (baca:dollar) ditawari tambahan utang oleh IMF. Syaratnya Indonesia harus patuh pada IMF. Utang luar negeri dengan akibat Indonesia jadi "negeri jajahan" ini tidak bisa dihindari. Indonesia berada dalam cengkeraman pemerintah asing yang konon katanya memberikan bantuan. Padahal sesungguhnya mereka ini rentenir global yang jadi bandar dari lembaga lembaga keuangan dunia yang memberikan pinjaman dengan jerat mematikan.

Suatu momen menyakitkan terjadi pada tanggal 15 Januari 1998.  Michel Camdessus, direktur pelaksana IMF terlihat dalam foto berdiri pongah bersedekap tangan menyaksikan presiden kita Suharto yang membungkuk didepannya menandatangani Letter Of Intent (LOI) IMF-Indonesia. LOI ini harus ditandatangani sebagai syarat pinjaman tambahan Indonesia dari IMF itu. LOI yang harusnya jadi resep obat yang bisa menyembuhkan ternyata jadi racun mematikan yang justru memperparah penyakit si pasien. Suharto yang sudah tidak berdaya dan tidak bisa lagi jadi anak manis dimata negara negara rentenir ini bagi mereka harus tumbang.

Padahal sebelumnya ada resep mujarab Currency Board System (CBS) dari Prof. Steve H.Hanke yang menurut sebagian pakar ekonomi jika diterapkan bisa membawa Indonesia keluar dari krisis keuangan seperti yang terjadi di negara negara Bulgaria, Bosnia, Herzegovina, Lithuania, Estonia dan Argentina.

Steve Hanke, pakar ekonomi Amerika Serikat dari John Hopkins University  mengusulkan pemerintah mematok nilai tukar rupiah fix pada angka 5,500 per dollar US. Kebijakan moneter ini sempat diterapkan sebentar saja yang berhasil menaikkan nilai tukar rupiah 28%. Apa yang terjadi? Para bandar IMFpun sontak berang karena ini merusak rencana jahat mereka menumbangkan Suharto dan nafsunya ingin tetap menguasai Indonesia. Akibatnya kita semua tahu apa yang terjadi. Indonesia semakin dalam terperosok ke kubangan utang dan Suharto lengser.

Menyadari kekeliruan masa lalu ini, kita sekarang mestinya patut hormat dan berterimakasih kepada semua presiden paska orde baru. Para pemimpin kita ini sadar, bahwa Indonesia tidak boleh lagi jadi "budak" negara asing karena utang luar negerinya. Indonesia tidak boleh lagi didikte negara negara asing karena banyak utang. Indonesia yang sumberdayanya berlimpah-ruah harus jadi negara maju yang mandiri. Tidak bertumpu pada utang luar negri.

Dari tekad yang luar biasa semua presiden kita mengurangi utang luar negeri ini, hasilnya bisa kita lihat sekarang. Bahkan utang pokok 11.1 M dollar IMF lunas tahun 2006 dimasa pemerintahan SBY. Hutang luar negeri kita sekarang amat sangat kecil. Hanya sekitar 11 % dari total utang. Bandingkan dengan utang dimasa pemerintahan orde baru dan sebelumnya.

Minimnya utang ini juga yang barangkali membuat presiden Jokowi dikenal sebagai presiden paling keras kepala dan pemberani dimata para pemimpin dunia. Kenapa? Karena Jokowi berani melawan negara manapun termasuk si-adidaya Amerika Serikat maupun sekutu sekutu uni Eropa dan Asianya. Siapapun dilawan kalau menghalangi gerak langkah Jokowi memajukan Indonesia. Indonesia sekarang jadi negara terhormat di dunia.

Akhirnya, dengan utang kepada rakyatnya sendiri, sekarang bulying "anak cucu bakal pikul beban utang sekian banyak" sudah tidak laku lagi. Anak cucu kita justru jadi investor yang mendapatkan passive income dari negara yang berhutang kepada mereka. Anak cucu kita bisa duduk manis saja, makan untung dari uang yang dipinjamkan kepada negara. Karena itu sekali lagi, mari, hormat dan berterimakasihlah kepada semua presiden kita. Jangan lagi mengolok-olok mereka.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: