Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peran Penting Industri Panas Bumi dalam Kebijakan Transisi, Ketahanan Energi dan Ekonomi Nasional

Peran Penting Industri Panas Bumi dalam Kebijakan Transisi, Ketahanan Energi dan Ekonomi Nasional Petugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan operasional di Pembangkit Listrik tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong, Tomohon, Sulawesi Utara, Kamis (29/7/2021). PLTP pertama di Sulut yang dibangun secara bertahap pada 2001-2011 tersebut memiliki empat pembangkit dan telah beroperasi penuh dengan kapasitas maksimal 4x20 Mega Watt (MW), serta mampu melayani 60.000-80.000 rumah dengan kisaran rata-rata daya 1.300 VA di wilayah Sulawesi Utara - Gorontalo. | Kredit Foto: Antara/Adwit B Pramono

Sumber energi panas bumi terbebas dari risiko kenaikan harga energi primer seperti yang terjadi pada energi fosil pada umumnya. Karena relatif terbebas dari risiko kenaikan harga, pemanfaatan energi panas bumi dapat membantu menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) tercatat sebagai salah satu yang termurah. Berdasarkan Statistik PLN 2022, rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi tercatat berada jauh di bawah rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional. Rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional pada tahun 2022 dilaporkan sebesar Rp 1.473/kWh.

Sementara rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada tahun yang sama adalah sebesar Rp 118,74/kWh atau sekitar 8,60 % dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi berpotensi memberikan manfaat positif terhadap kondisi makro moneter Indonesia.

Dengan asumsi rata-rata harga minyak mentah 100 USD per barel, konversi seluruh PLTD di Indonesia dengan menggunakan energi panas bumi (PLTP) dapat menghemat devisa impor migas sekitar 6,07 miliar USD untuk setiap tahunnya.

Penghematan tersebut akan memberikan manfaat positif terhadap kondisi neraca perdagangan dan peningkatan nilai tukar rupiah. 

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, berdasarkan dokumen kebijakan yang ada, panas bumi tampak belum menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi.

RUPTL 2021-2030 menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) sampai tahun 2030 adalah 20,9 GW.

Sekitar 66% dari target tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari PLTA dan PLT Surya masing-masing sebesar 9,2 GW dan 4,6 GW. Sementara kapasitas pembangkit panas bumi direncanakan hanya akan bertambah sekitar 3,4 GW atau 16% dari total tambahan pembangkit EBET.

Relatif sama dengan RUPTL 2021-2030, target pemanfaatan panas bumi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga tampak tidak menjadi prioritas utama.

Penambahan kapasitas pembangkit EBET dalam dokumen KEN difokuskan pada pembangkit bioenergi, PLTA dan PLT Surya. Sampai dengan tahun 2050, kapasitas pembangkit dari ketiganya ditargetkan masing-masing sebesar 26 GW, 38 GW dan 45 GW. Sementara pada periode yang sama kapasitas pembangkit listrik panas bumi ditargetkan sebesar 17,5 GW.

ReforMiner menilai, relatif belum dijadikannya sumber energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: