Universitas Paramadina Gelar Diskusi Publik 'Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar'
Universitas Paramadina mengadakan diskusi publik bertajuk “Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar” pada Kamis, 11 Juli 2024. Acara ini dimoderatori oleh Alia Rahmatulummah, mahasiswa Universitas Paramadina, dan dibuka oleh Prof. Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina.
Diskusi menghadirkan tiga pembicara utama, yaitu Wijayanto Samirin, MPP (Ekonom Universitas Paramadina), Dr. Handi Risza, M.Econ (Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina), dan Esther Sri Astuti, Ph.D (Direktur Eksekutif Indef/Pengajar Universitas Diponegoro).
Dalam pengantarnya, Prof. Didik J. Rachbini menyoroti lonjakan utang pemerintah Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa pada 2024, utang yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya sebesar Rp2.600 triliun, meningkat tajam menjadi Rp8.300 triliun.
Menurutnya, kenaikan utang yang signifikan ini terjadi tanpa dasar yang kuat dan sering kali diputuskan melalui lobi-lobi di ruang tertutup DPR. Beliau juga mengkritik perbandingan yang sering dilakukan dengan utang negara lain, seperti Jepang, yang tidak relevan mengingat kondisi ekonomi dan bunga utang yang sangat berbeda.
Prof. Didik menambahkan bahwa bunga utang yang tinggi menguras APBN dan hanya menguntungkan investor kaya. Selain itu, kapasitas ekspor Indonesia yang terbatas juga menyebabkan devisa negara banyak terkuras untuk membayar utang. Beliau menegaskan pentingnya adanya check and balances dalam pengambilan keputusan keuangan negara.
Membahas sisi ketahanan ekonomi, Esther Sri Astuti menyoroti masalah fundamental ekonomi Indonesia yang lemah, sehingga daya tahan terhadap tekanan global juga rendah. Beliau menjelaskan bahwa sejak awal 2023 hingga kuartal pertama 2024, tren ekspor Indonesia menurun, mengakibatkan surplus perdagangan yang juga menurun.
Hal ini diperburuk dengan inflasi bahan pangan yang tinggi dan ketergantungan terhadap impor. Kondisi fiskal Indonesia juga tidak baik-baik saja dengan rasio utang terhadap PDB yang mencapai sekitar 40%, yang akan menjadi tantangan besar bagi kabinet Prabowo.
Esther menekankan bahwa kabinet harus dibuat seramping mungkin untuk mengurangi belanja rutin yang besar. Koalisi partai yang besar seharusnya tidak mengorbankan efektivitas pemerintahan.
Sementara itu, Dr. Handi Risza menggarisbawahi dampak dari kondisi geopolitik global dan konflik yang berkepanjangan terhadap ekonomi Indonesia. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi global yang stagnan dan ketidakpastian geopolitik membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap perubahan harga komoditas. Beliau juga menyoroti perlambatan penerimaan pajak dan peningkatan angka kemiskinan serta pengangguran sejak 2019.
Dr. Handi menyarankan pembentukan kabinet zaken, yang diisi oleh individu-individu dengan keahlian khusus di bidangnya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Hal ini penting agar kabinet baru dapat bekerja dengan profesionalitas dan dedikasi tinggi untuk mencapai kemajuan bangsa.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti empat krisis yang akan dihadapi oleh pemerintahan Prabowo, yaitu krisis fiskal, krisis industri, krisis lapangan kerja, dan krisis rupiah. Beliau mengkritik struktur kabinet yang terlalu besar, yang menurut data dari Oxford University, jumlah menteri yang terlalu banyak justru membuat pemerintahan tidak efektif.
Wijayanto juga menekankan pentingnya menempatkan individu yang kredibel dan berintegritas dalam kabinet untuk meminimalisir nepotisme dan korupsi.
Diskusi publik ini mengidentifikasi berbagai tantangan yang akan dihadapi oleh kabinet Prabowo dalam bingkai koalisi besar. Dengan masukan dari para pakar, diharapkan pemerintahan baru dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan politik Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement