Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) serta Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) saat ini sedang menyusun kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).
Tujuan dari kedua kebijakan tersebut yakni mengendalikan derasnya arus impor produk luar negeri yang harganya terlalu murah.
Baca Juga: 'Kepercayaan Investor terhadap IKN Dipatahkan oleh Jokowi Sendiri'
Dalam keterangannya, Direktur Kolaborasi Internasional Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Imaduddin Abdullah, kebijakan tersebut, terutama BMAD, memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya retaliasi atau tindakan pembalasan dari negara-negara yang terkena dampak dari kebijakan tersebut, salah satunya China.
"Pemberian BMAD dapat memicu tindakan balasan (retaliasi) dari negara-negara eksportir yang terkena dampaknya, termasuk China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Tindakan balasan ini bisa berupa pengenaan tarif atau hambatan perdagangan lainnya terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar mereka," kata Imaduddin dalam keterangan tertulisnya, dikutip Warta Ekonomi, Minggu (14/7/2024).
Adapun bukti China sebagai mitra dagang penting bagi Indonesia adalah tahun 2023 nilai ekspor Indonesia ke China mencapai US$64,94 miliar atau sekitar 23% dari total nilai ekspor.
Hal tersebut, kata Imaduddin, mencerminkan adanya ketergantungan signifikan terhadap pasar China. Maka dari itu, dia mewanti-wanti jika retaliasi dari China ini bisa berdampak serius pada semua industri yang bergantung pada ekspor ke negara tersebut.
Baca Juga: Bey Machmudin Ungkap Peran Sentral Koperasi dalam Ekonomi di Jabar
Sementara itu, pengenaan BMAD yang tidak tepat sasaran juga bisa memunculkan praktik yang tidak sehat dalam negeri. Salah satunya yakni praktik monopoli dari industri yang menguasai pasar dalam negeri. Alhasil, hal itu bisa memengaruhi harga produk di level konsumen domestic yang mengalami peningkatan.
"Hal ini tentu merugikan konsumen domestik dan menciptakan iklim persaingan yang tidak sehat," ucap Imaduddin.
Dalam keterangan yang sama, Ekonom Senior Indef, Faisal Basri menjelaskan jika KADI harus menjabarkan secara rinci proses perhitungan untuk tariff pengenaan BMAD secara transparan. Baik dengan ad valorem maupun secara spesifik. Adapun alasannya adalah untuk mencegah ketidakpercayaan di pelaku industri.
Baca Juga: IKN For Sale, Kian Jelas 'Tuannya' Jokowi lewat Jualan HGU 190 Tahun
"Kurangnya transparansi dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan ketidakpastian di kalangan pelaku industri," tutur Faisal.
Indef, berangkat dari kekhawatiran tersebut, mendorong pemerintah untuk segera mengkaji lebih dalam serta mempertimbangkan berbagai aspek terlebih dahulu sebelum merekomendasikan kebijakan yang berpotensi merugikan banyak pihak. Salah satunya pemangku kepentingan, produsen, hingga konsumen.
Sebagai informasi, beberapa waktu lalu Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan alias Zulhas menugaskan KADI dan KPPI serta membentuk satuan tugas (satgas) impor dalam rangka menggodok dan memberantas aksi banjir impor illegal yang murah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement