Menko Marves Luhut Sebut Iklim Investasi Hulu Migas Indonesia Kurang Menarik, Pemerintah Identifikasi 11 Masalah
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyebut bahwa iklim investasi di industri hulu minyak dan gas (migas) Indonesia masih kurang menarik.
Pemerintah mengidentifikasi 11 masalah yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia. Luhut memerintahkan kementerian dan lembaga terkait untuk membereskan masalah ini.
Salah satu sorotan utama adalah tumpang tindihnya perizinan serta kewenangan antar kementerian dan lembaga yang berbelit. Selain itu, isu seperti persetujuan izin lingkungan, peraturan terkait ruang laut dan pertanian, perpajakan migas yang kurang kondusif, hingga kurangnya dukungan dari sebagian pemerintah daerah turut menghambat investasi hulu migas.
"Saya berharap setelah rapat koordinasi hari ini, setiap kementerian atau lembaga memiliki komitmen yang sama untuk meningkatkan iklim investasi sektor migas dengan mengejar kemudahan berbisnis (ease of doing business) di sektor ini," ujar Luhut melalui akun Instagramnya.
Bukti menurunnya iklim investasi dibarengi dengan melorotnya realisasi produksi siap jual (lifting) minyak nasional. SKK Migas mencatat realisasi lifting minyak hanya mencapai 576.000 barel per hari (bopd), di bawah target APBN sebesar 635.000 bopd.
"Lifting minyak sampai dengan semester 1 mengalami gangguan banjir di mana-mana, sehingga drilling praktis lebih dari satu bulan tidak bisa dilakukan, sehingga ada beberapa keterlambatan kegiatan drilling," ujar Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, pada Jumat, 19 Juli 2024.
Baca Juga: Rp5.000 Triliun dalam 2 Dekade, Industri Hulu Migas Jadi Penyumbang Kas Terbesar Kedua
Founder Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan daya tarik investasi hulu migas di Indonesia memang menurun dalam lima tahun terakhir.
Riset lembaga independen Fraser Institute mencatat skor Investment Attractiveness Index Indonesia hanya 45,17 pada 2023, menduduki peringkat 56 dari 86 negara. Padahal, pada 2019, skor Indonesia mencapai 73,09 dan berada di posisi 2 dari 76 negara.
Faktor utama penyebabnya adalah ketidakpastian peraturan perundangan yang mencakup pengaturan tata kelola, kata Pri Agung saat dihubungi pada Selasa, 23 Juli 2024.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement