Mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo Sebut Monitoring Self-Assessment Bisa Optimalkan Perpajakan Indonesia
Pemerintah Indonesia terus berupaya memperkuat perekonomian nasional melalui berbagai kebijakan dan insentif perpajakan, dengan tujuan utama mencapai pemerataan kesejahteraan sosial. Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah menciptakan sistem perpajakan yang efektif, akuntabel, dan transparan. Salah satu solusi yang diusulkan untuk mengatasi tantangan tersebut adalah penerapan monitoring self-assessment dalam sistem perpajakan.
Sistem perpajakan di Indonesia menggunakan prinsip self-assessment, di mana Wajib Pajak (WP) diberikan kepercayaan untuk melaporkan kewajiban perpajakannya secara jujur, lengkap, dan jelas. Namun, bagaimana memastikan bahwa laporan tersebut akurat dan sesuai dengan kenyataan? Inilah yang menjadi tantangan utama bagi otoritas pajak.
Menurut Hadi Purnomo, mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (2001-2006), monitoring self-assessment merupakan kunci untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem perpajakan.
"Sistem ini memastikan bahwa seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan dilaporkan dengan benar, lengkap, dan jelas. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan dan penerimaan negara akan meningkat," jelas Hadi.
Monitoring self-assessment berperan penting sebagai instrumen pengumpul data dan informasi yang akan digunakan dalam Big Data Perpajakan. Data ini mencakup semua transaksi keuangan, baik legal maupun ilegal, serta memetakan penggunaan dana WP dalam tiga sektor utama: konsumsi, investasi, dan tabungan. Dengan sistem ini, setiap laporan SPT WP akan teridentifikasi, sehingga potensi manipulasi atau penghindaran pajak dapat diminimalkan.
"Monitoring self-assessment menjadikan setiap SPT Wajib Pajak teridentifikasi, sehingga tidak ada yang bisa disembunyikan. Ini merupakan alat yang efektif untuk optimalisasi penerimaan perpajakan," jelas Hadi.
Baca Juga: Pemerintah Catat Pajak Usaha Ekonomi Digital Tembus Rp 27,85 Triliun Per Agustus 2024
Monitoring Self-Assessment Solusi Penghindaran Pajak
Salah satu masalah utama dalam sistem perpajakan adalah penghindaran pajak. Monitoring self-assessment dapat membantu mengurangi penghindaran pajak dengan mengintegrasikan data perpajakan dalam sistem yang berbasis link and match. Sistem ini memetakan penerimaan pajak secara komprehensif dan akurat, sehingga pengawasan menjadi lebih efektif.
"Dengan digitalisasi, kita bisa menghapus penghindaran pajak secara signifikan. Semua pihak—baik pemerintah pusat, daerah, lembaga, maupun sektor swasta—wajib terhubung ke dalam sistem ini, sehingga transparansi tercipta dan korupsi bisa dicegah," ungkap Hadi, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI periode 2009-2014.
Monitoring self-assessment memiliki landasan hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 menjadi pijakan utama dalam penerapan sistem ini. Berdasarkan Pasal 35A ayat 1, setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi terkait perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketentuan ini diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
"Pasal 35A ayat 1 menyebutkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah," jelas Hadi.
Dengan adanya regulasi ini, pemerintah memiliki akses ke semua informasi keuangan, baik yang bersifat rahasia maupun non-rahasia, sehingga tidak ada lagi data yang tersembunyi. Hal ini memungkinkan pengawasan yang lebih ketat terhadap WP.
Meskipun begitu, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi hambatan, salah satunya adalah inkonsistensi peraturan pelaksanaan. Beberapa peraturan seperti PMK 66/2008 dan PMK 157/2008 diduga tidak sepenuhnya selaras dengan undang-undang yang lebih tinggi.
"Inkonsistensi peraturan ini menjadi hambatan utama dalam penerapan monitoring self-assessment yang efektif," ungkap Hadi.
Sebagai contoh, peraturan seperti PMK 66/2008 dan PMK 157/2008 diduga tidak sepenuhnya selaras dengan undang-undang yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan aturan yang tidak sesuai dengan kaidah dan pembatasan nilai yang tidak relevan.
"Diperlukan revisi terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan yang tidak selaras dengan undang-undang di atasnya," tegas Hadi.
Dengan revisi dan pembatalan peraturan yang tidak sesuai, transparansi sistem perpajakan terwujud, memungkinkan pengawasan yang lebih baik, dan memastikan setiap laporan pajak mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya.
Baca Juga: DJP Ungkap Strategi Genjot Penerimaan Pajak Tahun 2025
Monitoring Self-Assessment Mengoptimalkan Penerimaan Pajak
Upaya peningkatan penerimaan pajak sering kali berfokus pada solusi jangka pendek seperti menaikkan tarif pajak atau memperluas objek pajak. Namun, langkah ini tidak selalu menyelesaikan akar permasalahan.
Menurut Hadi, “Dengan penerapan monitoring self-assessment yang efektif, target peningkatan penerimaan pajak dapat dicapai bahkan dengan menurunkan tarif pajak. Penerimaan pajak akan meningkat secara otomatis karena SPT Wajib Pajak sudah benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan ketentuan undang-undang.”
Pemerintah telah menetapkan target Tax Ratio (TR) untuk tahun-tahun mendatang, dengan rencana mencapai minimum 16% pada tahun 2029, sebagaimana terlihat dalam infografik berikut ini:
Dengan monitoring self-assessment dan regulasi yang selaras, serta pelaksanaan yang tegas, sistem perpajakan Indonesia menjadi transparan, kuat, dan berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan nasional.
"Langkah ini menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya adil, tetapi juga mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sosial di Indonesia," pungkas Hadi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement