Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Revisi Kebijakan ISPO: Kebut Sertifikasi Sawit Berkelanjutan di Indonesia

Pemerintah Revisi Kebijakan ISPO: Kebut Sertifikasi Sawit Berkelanjutan di Indonesia Kredit Foto: SMART
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHbun), Prayudi Syamsuri, mengungkapkan jika pemerintah saat ini sedang melakukan upaya revisi terhadap regulasi terkait praktik sawit berkelanjutan di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengatasi tantangan dalam implementasi yang dihadapi ke depannya.

Sebagai informasi, terkait tantangan yang dihadapi salah satunya adalah program sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang digencarkan pada pelaku usaha perkebunan kelapa sawit baik perusahaan maupun petani mandiri.

Baca Juga: Pj Gubernur Riau Dukung Kerja Sama dengan Mahasiswa Jepang Soal Hilirisasi Sawit

Akan tetapi, hingga saat ini pencapaian sertifikasi ISPO masih jauh dari target. Tercatat dari total luas perkebunan kelapa saiwt sebesar 16,38 juta hektare di Indonesia, hanya 5,84 juta hektare atau 35,6% yang telah tersertifikasi dengan jumlah sertifikasi baru mencapai 1.077.

Pemerintah sendiri sejak tahun 2019 telah melakukan upaya prakondisi melalui kebijakan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) yang dirancang hingga tahun 2024. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memastikan kesiapan pelaku usaha sawit dalam penerapan mandatory ISPO. 

Dalam RAN KSB, disebutkan bahwa pemeirntah pusat dan daerah diberikan mandate untuk memperbaiki tata kelola perkebunan melalui serangkaian program yang didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta kerjasama multipihak.

Akan tetapi, adopsi RAN KSB hingga kini di tingkat daerah masih tergolong minim. Tercatat hanya 22 kabupaten dan 10 provinsi saja yang telah menetapkan kebijakan terkait. Rendahnya capaian tersebut merupakan tantangan utama yang dihadapi para pelaku usaha dalam mendapatkan sertifikasi ISPO. Di antaranya adalah tingginya biaya sertifikasi, proses yang rumit, masalah legalitas, kurangnya sosialisasi, hingga keterbatasan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan. Selain itu, kerumitan lain yang menghambat penerapan sertifikasi ISPO yakni keragaman karakteristik petani sawit di berbagai daerah.

“Kami saat ini sedang menyusun revisi terharap Perpres tentang ISPO melalui revisi Permentan 38 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia dan Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang ISPO,” kata Yudi, sapaannya, Selasa (24/9/2024).

Revisi tersebut bertujuan untuk mempermudah pemenuhan prinsip keberlanjutan dalam praktik perkebunan kelapa sawit itu sendiri sembari tetap mempertahankan integritas prinsip-prinsip tersebut. Adapun salah satu langkah konkrit yang diambil adalah dengan menerapkan percepatan Surat tanda Daftar Budidaya (STDB) serta mendukung pendanaan untuk sertifikasi ISPO melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

“Percepatan implementasi dan mencapai kesiembangan antara penyederhanaan proses dengan mempertahankan aspek keberlanjutan merupakan fokus utama kami,” jelasnya.

Menurut Yudi, pemeirntah telah mengambil beberapa langkah untuk mengintegrasikan teknologi dalam proses verifikasi sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pemenuhan regulasi baru.

Baca Juga: Ekosistem Berkelanjutan, Manfaat Bungkil Sawit untuk Pakan Ternak

Pihaknya juga optimis dengan pendekatan baru tersebut, berbagai pihak bisa responsif terhadap tuntutuan pasar global terhadap produk sawit berkelanjutan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: