Direktur Utama (Dirut) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman, menanggapi persoalan pemangkasan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2024. Menurut dia, hal tersebut akan mengancam kelangsungan program mandatory biodiesel atau mandatory campuran solar dengan bahan minyak nabati berbasis kelapa sawit (CPO).
Pasalnya, dia mengungkapkan bahwa di tahun-tahun berikutnya penerimaan dana BPDPKS untuk subsidi biodiesel akan semakin menurun.
Baca Juga: GAPKI Kritik Reuters: Klaim Deforestasi Kelapa Sawit Tidak Berdasar
Untuk diketahui, selama ini subsidi biodiesel diambil oleh BPDPKS dari pungutan ekspor sawit dan produk turunannya sehingga secara tidak langsung pemangkasan pungutan ekspor CPO akan berpengaruh pada penurunan pendapatan BPDPKS untuk subsidi biodiesel.
"Kalau kita di 2025 untuk B40, saving kita (dari pungutan ekspor) itu Rp2 triliun lagi. Tapi kemampuan keuangan kita semakin menurun untuk membiayai program-program (biodiesel)," ungkap Eddy, Selasa (24/9/2024).
Apabila pemerintah ingin melanjutkan mandatory biodiesel yang lebih tinggi misalnya B50, B60 dan seterusnya, Eddy mengungkapkan bahwa pemerintah harus mencari solusi lain sehingga tidak bergantung pada pemasukan dari pungutan ekspor.
"Kalau kita ingin menggunakan bahan bakar yang lebih green ya kita harus bayar yang lebih besar, atau ada inovasi lain seperti penerapan carbon tax. Nanti hasilnya untuk subsidi yang green (bahan bakar) tadi," kata dia.
Baca Juga: Astra Agro Lestari (AALI) Dukung Penurunan Pungutan Ekspor Sawit
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, mengatakan bahwa PMK Nomor 64 Tahun 2024 akan kontra produktif mendukung program biodiesel selanjutnya kendati hal itu juga berdampak positif pada industri sawit.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement