Kredit Foto: Sufri Yuliardi
"Sisi buruknya adalah dana BPDPKS yang dikumpulkan dari pungutan ekspor juga akan lebih terbatas atau lebih sedikit, dan artinya ini kaitannya dengan rencana pemerintah untuk transisi energi ke Biofeul," kata Faisal.
Oleh sebab itu, dia menilai jika kebijakan yang diambil harus klop dan jangan sampai kontra produktif.
Baca Juga: Pemerintah Revisi Kebijakan ISPO: Kebut Sertifikasi Sawit Berkelanjutan di Indonesia
"Ingin mendorong energi baru terbarukan termasuk di antaranya biofuel tapi kemudian pendanaan program B40 dan seterusnya berkurang, itu yang harus dilihat lebih jauh dampaknya," imbuhnya.
Sementara itu, Tungkot Sipayung selaku Ketua Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menanggapi bahwa pemangkasan pungutan ekspor CPO bakal berdampak pada terganggunya keberlanjutan transisi energi. Menurut dia, penurunan pungutan ekspor sawit bepotensi mengurangi ketersediaan pembiayaan subsidi biodiesel dan bisa mengganggu keberlanjutan transisi energi.
"Karena besarnya insentif atau subsidi untuk mandatori biodiesel sampai saat ini masih tergantung pada selisih harga biodiesel dengan harga solar impor. Selama ini subsidi biodiesel dibayar dari dana sawit atau pungutan ekspor sawit tadi," ucap Tungkot.
Sebagai informasi, PMK Nomor 62 Tahun 2024 berbeda dengan peraturan sebelumnya yakni PMK Nomor 154 Tahun 2022.
Baca Juga: Produksi Sawit Indonesia Diprediksi Masih Stabil, Gimana Nasib India dan Malaysia?
Sebelumnya, tarif pungutan ekspor dikelompokkan berdasarkan rentang harga CPO dengan pungutan yang berkisar dari US$85 hingga US$240 per ton. Saat ini pungutan tidak lagi bersifat progresif, yakni tarif pungutan ekspor telah ditetapkan berdasarkan persentase dari harga referensi CPO yang ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement