Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Moral Disengagement pada Rasionalisasi Perbuatan Fraud atau Korupsi

Oleh: Diaz Priantara, Profesional dalam bidang Assurance, Accounting, Tax, GRC, Anti Fraud Practitioners

Moral Disengagement pada Rasionalisasi Perbuatan Fraud atau Korupsi Kredit Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pada banyak peristiwa korupsi atau fraud yang melibatkan orang-orang yang mempunyai kedudukan, jabatan, kekuasaan dan kewenangan, kita bertanya kenapa orang-orang tersebut yang notabene telah disumpah dengan kitab suci dan berjanji bertindak untuk kepentingan bangsa dan negara tega mencederai amanah (kepercayaan) yang diberikan kepada mereka.

Lebih miris lagi, pelaku korupsi atau fraud bukanlah semata-mata karena menutupi kebutuhan dasar atau kebutuhan minimum hidupnya, melainkan sudah bersifat rakus dan tamak. Ada juga alasan mengapa pelaku korupsi atau fraud yang merupakan penyelenggara negara di eksekutif, legislatif, yudikatif dan pemeriksaan keuangan negara melakukan korupsi atau fraud. Mereka melakukan fraud atau korupsi untuk mengembalikan biaya atau investasi memperoleh jabatan. Biaya atau investasi ini sangat besar.

Fraud atau korupsi dengan berbagai modus dan motif juga terjadi di berbagai jenjang jabatan dari atas sampai ke bawah dan meliputi berbagai jenis pekerjaan. Tidak ada yang luput dari korupsi atau fraud, bahkan organisasi nirlaba, organisasi komersial, dan organisasi multinational bereputasi mengalami fraud atau korupsi juga.

Apapun rupa-rupa alasan dan dalih sebab pelaku melakukan korupsi atau fraud, pelaku telah merasionalisasi atau menjustifikasi perbuatan fraud atau korupsinya sebagai sesuatu hal yang lumrah. Rasionalisasi atau justifikasi “pembenaran” menjadi penentu terjadinya dan terwujudnya fraud atau korupsi.

Dalam konteks rasionalisasi “pembenaran” ini, pelaku pasti menanggalkan sumpahnya, menanggalkan nilai moral dan etikanya atau bahkan menanggalkan keyakinan kepada Tuhannya sehingga tanpa sungkan hipokrit melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan sumpah jabatan, nilai moral dan keyakinan kepada Tuhan. 

Ketika pelaku merealisasikan perbuatan fraud atau korupsi, pelaku pada dasarnya melakukan moral disengagement yang merupakan suatu inti rasionalisasi atau justifikasi perbuatannya. Pelaku akan dan terus meyakinkan dirinya (batin dan pikirannya) bahwa standar etika, standar moral bahkan aturan agama tidak berlaku pada kondisi yang dijumpainya, dan hukuman atau sanksi dianggap tidak relevan.

Pada moral disengagement, pelaku menjustifikasi moralnya bahwa perbuatan fraud atau korupsinya merupakan sesuatu yang dapat diterima atau lumrah dan pelaku menggunakan penghalusan argumentasi dan keterangan yang menggambarkan keputusan atau tindakan yang ia anggap tidak merugikan.

Menurut teori social cognitive, kognitif sosial merupakan kegiatan berpikir, memahami dan mengambil keputusan dari lingkungan sosialnya untuk dipelajari bahkan ditiru atau diikuti (Bandura, 1962).

Kognitif ini tidak lepas juga dari berbagai informasi yang ditangkap dan dipahaminya. Andaikata di dalam suatu lingkungan sosial baik lingkup kecil ataupun lingkup negara, terjadi banyak informasi yang meresonansi permisif dan pembiaran perilaku tidak etis, fraud atau korupsi maka fraud atau korupsi dianggap bukan perbuatan yang harus diperangi. Bahkan terjadi afirmasi keputusasaan memerangi fraud atau korupsi karena adanya realitas ketidakkonsistensian dan ketidakmampuan penegakan hukum dan keadilan. Semua informasi ini menjadi masukan untuk pembelajaran sosial yang membentuk kognitif yang negatif kepada pelaku atau kognitif masyarakat. 

Selanjutnya, apakah social cognitive otomatis mewujudkan perbuatan fraud atau korupsi? Jawabannya bisa ya apabila social cognitive yang terbentuk dari social learning menghasilkan sesuatu stimulus dan persepsi serta keyakinan atas fraud atau korupsi bukanlah perbuatan yang sangat dibenci dan tidak mendapat sanksi yang berat. Namun social cognitive ini membutuhkan pelepasan nilai moral, nilai etika, dan nilai agama (moral disengagement) dalam merealisasikan rasionalisasi perbuatan fraud atau korupsinya.

Moral disengagement ditandai dengan beberapa mekanisme rasionalisasi kognitif yang memungkinkan individu untuk berpartisipasi dalam perilaku tidak etis sambil menjauhkan diri dari moral mereka (Bandura, 1999). Meskipun pada mulanya moral mereka masih ideal namun karena interaksi dan pembelajaran di lingkungan sosialnya maka nilai moral ideal dapat menjadi longgar dan ditanggalkan. Dalam kondisi ini moral disengagement sebagai inti dari rasionalisasi atau justifikasi fraud atau korupsi menjadi lebih mudah  

Penalaran kognitif dapat dipecah menjadi tiga tahapan (Bandura et al., 1996). Pertama, moral disengagement dimulai dari menyusun atau menata ulang perilaku yang tidak etis agar dapat dibenarkan oleh dirinya. Pelaku disini tidak serta merta langsung melakukan fraud atau korupsi. Ia akan melakukan penyesuaian diri dengan kebiasaan perilaku di lingkungan kerja, termasuk budaya koruptif.

Kedua, moral disengagement akan memberikan gambaran yang salah berupa menutupi konsekuensi dari aktivitas tidak etis serta tanggung jawabnya seolah-olah perbuatannya lumrah. Contoh: perbuatan yang sama dilakukan juga oleh semua rekan kerja dan pimpinan.

Ketiga adalah menstigmatisasi mereka yang menerima perilaku tidak etis sebagai satu chemistry atau satu aliansi, sebaliknya mengalienasi mereka yang tidak menerima perilaku tidak etis (Chen et al., 2016). Karena tahapan pembelaan diri ini dirancang untuk membuat tindakan tidak etis sebagai suatu perbuatan yang dapat diterima, maka pelepasan moral (moral disengagement) tersebut oleh ahli perilaku sosial dikonseptualisasikan sebagai fenomena tunggal yang menyeluruh untuk merasionalisasi perbuatan fraud atau korupsinya, termasuk merasionalisasi perbuatan tidak etisnya (Moore et al., 2012).

Berdasarkan penjelasan di atas, pencegahan moral disengagement melalui budaya integritas dan kejujuran menjadi salah satu instrumen penting pencegahan fraud atau korupsi. Mencegah moral disengagement berarti menjaga integritas pribadi. Dengan mencegah moral disengagement, individu dapat memastikan bahwa tindakan mereka selaras dengan nilai dan prinsip moral mereka sendiri untuk menjaga harga diri dan integritas pribadi.

Mencegah moral disengagement akan menghindari perilaku tidak etis karena moral disengagement memungkinkan orang untuk melakukan tindakan yang tidak etis tanpa merasa bersalah. Selanjutnya, mencegah moral disengagement membantu mencegah fraud atau korupsi dengan mengurangi risiko terjadinya perilaku dan hipokrit koruptif (Newman et al., 2019).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: