Mewaspadai Hipokrit Organisasional Sebagai Stimulus dan Justifikasi Fraud
Oleh: Diaz Priantara, Profesional dalam bidang Assurance, Accounting, Tax, GRC, Anti Fraud Practitioners
Kredit Foto: SystemEver
Surat Edaran Menteri BUMN Nomor: SE 7/MBU/07/2020 tanggal 1 Juli 2020 tentang Nilai-Nilai Utama (Core Values) Sumber Daya Manusia Badan Usaha Milik Negara memerintahkan setiap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib menerapkan nilai-nilai utama yang disebut AKHLAK yaitu nilai-nilai Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif yang mendasari perilaku insan BUMN.
Ini berarti salah satu perilaku insan BUMN beserta seluruh perusahaan anak, cucu, dan cicitnya (selanjutnya disebut BUMN) adalah AMANAH. AMANAH adalah berpegang teguh pada Nilai Moral yang baik dan Etika yang benar dengan integritas sebagai nilai inti dalam menjalankan tugas mereka.
Salah satu tujuan ideal dan hasil yang diharapkan dari AKHLAK adalah tidak ada fraud di tubuh BUMN, meskipun ACFE sebagai organisasi profesi menyatakan fraud tidak mungkin menjadi hilang atau menjadi nihil.
Sasaran utama ACFE adalah mengurangi frekuensi, kerugian dan dampak fraud melalui manajemen risiko fraud yang di antaranya dengan program pencegahan dan deteksi fraud.
Fraud bersifat laten dan merupakan risiko melekat yang bisa saja pada suatu keadaan berkurang atau seakan-akan sudah tidak ada, namun sebenarnya seperti bara api yang menanti suasana, potensi, peluang untuk menjadi besar kembali.
Akhir-akhir ini BUMN seperti Waskita Karya, Aneka Tambang, Timah, Telekomunikasi Indonesia, Indofarma mengalami krisis reputasi, krisis kepercayaan dan kerugian finansial karena fraud. Padahal terhadap BUMN beserta konglomerasinya diwajibkan memberlakukan nilai-nilai utama AKHLAK yang salah satu nilainya adalah AMANAH. Tentu saja tidak salah timbul persepsi bahwa BUMN bermuka dua, slogan dan retorikanya AKHLAK namun praktiknya tidak AKHLAK.
Baca Juga: OJK dan Asosiasi Fintech Luncurkan Panduan Strategi Anti-Fraud bagi Penyelenggara ITSK
Mayoritas praktisi dan pengajar anti-fraud membahas penyebab terjadinya fraud dengan mengaitkan ke faktor adanya peluang dan kesempatan yang biasanya berkaitan dengan kelemahan pengendalian internal.
Doktrin ini bahwa akar masalah terjadinya fraud adalah kelemahan pengendalian internal ditancapkan secara luas dan mendalam kepada mahasiswa dan pemerhati anti-fraud. Oleh karena itu, auditor internal ataupun auditor lainnya pun selalu fokus pada pengendalian internal dan pengujian atas pengendalian internal menjadi inti dari prosedur audit.
Atas kelemahan pengendalian internal atau ketidakpatuhan pelaksanaan pengendalian internal akan menjadi temuan audit dan menjadi rekomendasi perbaikan. Tentu saja tidak dapat dibantah kelemahan pengendalian internal menjadi penyebab terjadinya fraud.
Pengendalian internal memang dapat dimaknai secara luas, walaupun sering kali dipahami sebagai pengendalian internal yang bersifat dokumentasi formal dan berwujud serta dapat dilakukan pengujian pengendalian internal dan ketiadaan pengendalian internal atau ketidakpatuhan pengendalian internal disematkan sebagai penyebab fraud.
Dari pada membahas pengendalian internal yang sering dipersepsikan sebagai pendekatan mekanistis, penulis lebih tertarik mengkaji berbagai perilaku individual, kelompok dan organisasi yang menstimulus potensi fraud dan menyuburkan perbuatan fraud. Salah satu perilaku individual dan organisasi tersebut adalah hipokrit.
Kamus Besar Bahasa Indonesia online (kbbi.web.id) yang diakses tanggal 27 Mei 2024 menyatakan bahwa makna hipokrit adalah (1) munafik yaitu orang yang nyatanya bertindak sebaliknya dengan apa yang diajak atau diajakkan termasuk dengan apa yang diucapkan, dan (2) orang yang suka berpura-pura yang berarti tampak luar berbeda dengan tampak dalam.
Ini berarti orang atau badan usaha yang hipokrit akan menampilkan wajah berbeda (bermuka dua). Hipokrit banyak disematkan pada riset politik dan riset hubungan internasional. Orang mengenal standar ganda yang diterapkan Amerika Serikat yakni mengaku sebagai pembela hak asasi manusia dan menjunjung hukum dan demokrasi, namun Amerika Standar menerapkan kebijakan yang berbeda untuk negara tertentu yang dianggap membahayakan kepentingannya.
Penelitian penulis berupa studi normatif tentang hipokrit di suatu organisasi komersial ternyata menunjukkan bahwa hipokrit walau berkonotasi buruk dibutuhkan oleh organisasi untuk eksistensinya (Priantara, 2024).
Salah satu sebabnya adalah organisasi atau entitas komersial harus mempertahankan eksistensi dan keberlanjutannya di tengah tekanan regulasi, tuntutan investor dan hal-hal lain sehingga salah satu caranya adalah menampilkan informasi dan citra seolah-olah entitas ini telah mematuhi regulasi atau memiliki kinerja baik.
Untuk jenis hipokrit ini, Penulis mengidentifikasi sebagai hipokrit organisasional. Hipokrit organisasional yang dibutuhkan ini memiliki beberapa istilah lain yang serupa atau berpadanan seperti functional deviance (Osrecki, 2015) yaitu perilaku yang tidak sesuai norma namun bermanfaat bagi organisasi atau decoupling (MacLean et al., 2015) yaitu keterpisahan antara pernyataan atau retorika dengan keluaran atau perbuatan.
Penelitian Basaad et al (2023) menunjukkan keberadaan konsep yang memiliki kemiripan dengan hipokrit organisasional yaitu unethical pro-organizational behavior (UPOB). UPOB dirintis oleh Umphress and Bingham (2011).
Baca Juga: Teknologi 1datapipe Cegah Kasus Fraud dalam Sektor Keuangan
UPOB adalah perbuatan yang bertujuan untuk memajukan organisasi yang dilakukan oleh pegawai atau anggota organisasi secara sukarela tanpa diperintah oleh manajemen walaupun bertentangan dengan norma sosial dan hukum. UPOB ini bahkan pegawai melegitimasi hipokrit untuk memajukan organisasinya walaupun ia tahu retorika yang disampaikannya tidak sesuai dengan realita.
Shim (2013) mencontohkan adanya perusahaan yang menyatakan secara terbuka sudah mematuhi peraturan lingkungan hidup namun faktanya bertolak belakang sebagian atau seluruhnya. Di Indonesia pun serupa, diberitakan adanya penyusunan anggaran pemerintahan daerah melalui pendekatan partisipatif namun nyatanya tidak (Razak et al., 2011).
Hipokrit dibutuhkan untuk menjaga marwah, kredibilitas dan reputasi organisasi (Charette, 2006). Tidak ada sanksi hukum atas perilaku hipokrit, kecuali di balik hipokorit tersebut terdapat penyembunyian perbuatan melawan hukum yang ditemukan di kemudian hari.
Hipokrit dianggap tidak berbahaya dan malahan dianggap dibutuhkan, Sanksi yang dikenakan atas perbuatan hipokrit hanyalah sanksi sosial (Alicke et al., 2013) atau penurunan kepercayaan pegawai dan pihak yang mengetahui adanya hipokrit kepada manajemen (Robbins & Judge, 2012).
Mengapa hipokrit tidak memiliki sanksi hukum? Bisa jadi mungkin karena hipokrit sangat berkaitan dengan etik. Terlebih lagi, Robbins & Judge (2012) menyatakan perilaku yang etis tidak pernah secara jelas dibuat batasannya atau didefinisikan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Padahal untuk menyatakan hipokrit sebagai tercela, hipokrit harus dinyatakan secara tegas dan disepakati bersama sebagai perbuatan tidak etis dan melanggar etika di organisasi. Namun menurut penulis, pejabat yang berkepentingan pada penegakan budaya dan etika organisasi tetap merumuskan rincian hipokrit seperti apa yang dilarang serta strategi pencegahan hipokrit disfungsional karena berdasarkan penelitian penulis, hipokrit yang dibiarkan subur dan menjadi kebiasaan pimpinan yang seharusnya menjadi role model penerapan etika, menstimulus dan berpengaruh terhadap rasionalisasi atau justifikasi fraud. Hipokrit demikian acapkali dilakukan untuk atau pada saat merasionalisasi atau menjustifikasi perbuatan fraudnya (Priantara, 2020).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement