Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Segara Research Institute : PP no 28 Tahun 2024 Sisakan Tantangan Kesehatan Bayi

Segara Research Institute : PP no 28 Tahun 2024 Sisakan Tantangan Kesehatan Bayi Kredit Foto: Unsplash/Nyana Stoica
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemberlakuan Undang Undang Kesehatan No 17 Tahun 2023 dan aturan turunannya melalui Peraturan Pemerintah (PP) no 28 tahun 2024 menuai apresiasi publik. Regulasi anyar ini dianggap cukup memadai dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat, menjaga kepentingan publik dan membantu mengatasi berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia.

Namun, ada sejumlah tantangan yang penting dicermati. Beleid baru ini mendapatkan penilaian positif karena dianggap mampu mengakomodir seluruh aspek dalam sistem kesehatan di Indonesia. Seperti mengatur berbagai upaya yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dengan tujuan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan serta mengatur kewenangan dan tanggung jawab tenaga kesehatan.  

Menurut Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam, Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023 merupakan tonggak penting perwujudan amanah UUD 1945, memastikan kehadiran negara dalam pengaturan kesehatan di Indonesia.

Baca Juga: Jalani Gaya Hidup Cepat, Jaga Kesehatan Pencernaan dengan Herbavomitz

“PP No.28 Tahun 2024 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan  terjangkau oleh masyarakat. Upaya kesehatan tersebut ditujukan untuk mewujudkan derajat kesehatan  yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Kami apresiasi niat baik pemerintah,” kata Piter di Jakarta Kamis (26/9/2024)

“Meski demikian, UU Kesehatan tetap menyisakan sejumlah tantangan besar, khususnya dalam menindaklanjuti semua materi muatan UU Kesehatan ke dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya,” lanjutnya. 

Piter memberikan beberapa contoh tantangan. “Di satu sisi, PP memberikan kepastian hukum. Namun di sisi lainnya, PP ini berpotensi menciptakan kebingungan yang dapat berdampak pada upaya edukasi masyarakat sampai dengan perekonomian,” sebut Piter.

Piter menjelaskan, UU Kesehatan dan PP nomor 28 memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha yang berkecimpung di sektor kesehatan. Pelaku bisnis bisa kembali fokus mengembangkan usaha dan memenuhi kebutuhan konsumen karena merasa telah memiliki batasan atau pagar yang jelas, sehingga tidak keluar dari koridor hukum. 

Menilik soal kesehatan bayi, PP No.28 tahun 2024 menyatakan bahwa setiap bayi berhak memperoleh air susu ibu (ASI) eksklusif sejak dilahirkan sampai usia 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. Pengecualian terkait indikasi medis ini juga sejalan dengan the International Code of Marketing of Breast-Milk Substitutes (WHO Code). 

“Dengan kata lain, PP No. 28 tahun 2024  mengakui bahwa susu formula dapat digunakan untuk menggantikan ASI ketika ASI Eksklusif tidak dapat diberikan dan donor ASI tidak tersedia. Ini bentuk konfirmasi sekaligus validasi bahwa susu formula dapat dikonsumsi bayi usia 0-6 bulan,” kata Piter.

Keberadaan susu formula dan upaya mendorong pemberian ASI Eksklusif seharusnya tidak perlu dipertentangkan. PP No. 28 tahun 2024, sebagaimana juga WHO, mengakui bahwa susu formula aman dan dapat diberikan kepada bayi ketika ASI tidak dapat diberikan oleh Ibu bayi ataupun oleh donor. 

Baca Juga: KPK Ungkap Kerugian Rp20 Triliun Akibat Fraud di Layanan Kesehatan Indonesia

Terkait hal itu, menurut Piter, peraturan turunan PP No.28 Tahun 2024 sejatinya tidak perlu merubah ketentuan yang sudah ada saat ini, yaitu pembatasan kegiatan promosi susu formula sesuai dengan PP No. 69 Tahun 1999.

“Bahwa PP sebelumnya (PP No.69 Tahun 1999) sudah mengatur ketat iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan satu tahun, di mana industri sudah ikut aturan main karena diatur secara ketat,” sebut Piter. 

Data BPS menunjukkan bahwa angka pemberian ASI Eksklusif di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2020 hingga 2022 dari 68,84% menjadi 72,04% (2022) dan 73,9% (2023). Namun demikian, di sisi lain, pada tahun 2023 terjadi perlambatan penurunan angka prevalensi stunting yang hanya turun 0,1% dari 21,6% di tahun 2022 menjadi 21,5% di tahun 2023. 

“Melihat kondisi yang ada mengenai pemberian ASI Eksklusif dan juga perlunya percepatan penurunan angka stunting, diperlukan penciptaan kondisi yang mendukung pemberian ASI Eksklusif seperti ruang laktasi di kantor dan ruang publik, serta penguatan akses informasi atas pilihan nutrisi yang sehat bagi bayi,” jelas Piter. “Saya kira di saat masih ada isu stunting dan juga semakin meningkatnya proporsi tenaga kerja perempuan, justru akses terhadap produk dan informasi produk butuh diperkuat,” tambah Piter.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Advertisement

Bagikan Artikel: