Sementara itu, apabila kapasitas ekspor menurun, maka pungutan ekspor yang saat ini digunakan untuk subsidi biodiesel serta program replanting atau Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) juga akan menurun. Sehingga, hal tersebut bisa berimbas pada menurunnya kapasitas produksi hingga terhambatnya program bauran tingkat selanjutnya seperti B50 hingga B60.
"Padahal kita memerlukan peningkatan produktifitas, kalau dikorbankan, dana PSR dari mana? Kan dari pungutan ekspor. Siapa yang akan membiayai B50 tersebut kalo ekspornya kurang?” ucapnya.
Baca Juga: APROBI Ungkap Tantangan bagi Produsen Biodiesel Indonesia, Apa Saja?
Dirinya memberi contoh bahwa saat ini program B35 yang masih berjalan didanai dari pungutan ekspor.
"Jadi nanti akan bergulir seperti ayam sama telur, yang mana dulu. Nah ini yang berbahaya," ungkapnya.
Apabila kapasitas ekspor sawit Indonesia terus dipangkas, kata Eddy, maka hal tersebut bakal berpengaruh pada harga minyak nabati dunia yang lainnya. Harga CPO Indonesia bakal semakin mahal dengan stok yang langka di pasar global sehingga menyebabkan kenaikan harga dari berbagai produk turunan CPO lainnya.
Baca Juga: Petani Sawit Berharap Posisi Mereka Semakin Kuat di Tangan Prabowo Subianto
"Apabila suplai kita berkurang ke dunia, maka harga minyak nabati dunia juga akan berpengaruh, berdampak inflasi juga ke kita dengan mahalnya produk-produk kita yang dari sawit," jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement