Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji, mengungkapkan lima agenda prioritas yang diharapkan dapat dijalankan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk menjaga keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) nasional. Harapan ini disampaikan mengingat padatnya regulasi yang membebani sektor pertembakauan, yang dianggap mengancam kelangsungan ekonomi petani tembakau di Indonesia.
Menurut Agus Parmuji, industri tembakau di Indonesia saat ini dihadapkan pada lebih dari 480 aturan ketat, baik di tingkat nasional maupun daerah. Selain itu, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang pengamanan produk tembakau turut menimbulkan kekhawatiran bagi para petani tembakau yang selama ini menggantungkan hidup pada industri ini.
Agus Parmuji menyoroti lima langkah strategis yang disebutnya sebagai "PR besar" untuk Presiden Prabowo. Pertama, APTI meminta pemerintah agar tidak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), mengingat sektor pertembakauan merupakan mata pencaharian utama bagi jutaan rakyat Indonesia. Menurutnya, ratifikasi FCTC akan mengancam mata pencaharian banyak orang dan bertentangan dengan visi untuk menyerap tenaga kerja.
PR kedua dari APTI adalah menjaga agar Harga Jual Eceran (HJE) rokok tetap stabil pada 2025 dan tidak menaikkan PPN hingga 12%. Langkah ini diyakini mampu menjaga daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang menantang, serta mendukung program Menko Perekonomian yang bertujuan menguatkan kembali daya beli masyarakat.
Baca Juga: Tidak Naiknya Cukai Rokok 2025 Jadi Angin Segar bagi Industri Tembakau
Tugas ketiga yang diharapkan oleh para petani adalah tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) selama periode 2025 hingga 2027. Agus Parmuji menilai keberlanjutan industri tembakau penting bagi penyediaan lapangan kerja dan pemasukan negara, sehingga tarif yang stabil dapat membantu proses pemulihan IHT nasional.
Keempat, APTI berharap pemerintah menolak simplifikasi tarif cukai dan tidak mempersempit disparitas antar-layer tarif. Agus menjelaskan bahwa penyederhanaan tarif cukai berpotensi meningkatkan harga rokok legal sehingga konsumen mungkin beralih ke produk ilegal. Hal ini juga dianggap menguntungkan perusahaan internasional yang menggunakan tembakau impor daripada tembakau lokal.
PR terakhir adalah kebijakan cukai yang lebih seimbang antara rokok kretek dan rokok elektronik, mengingat cukai untuk produk elektronik cenderung lebih rendah. Agus menyatakan bahwa keadilan dalam kebijakan cukai akan menjaga keberlanjutan gotong royong antara petani tembakau dan industri rokok lokal.
"Industri hasil tembakau adalah tulang punggung bagi jutaan rakyat Indonesia, dan kami berharap pemerintah menjaga keseimbangan antara kepentingan pengendalian dan kesejahteraan petani," pungkas Agus Parmuji.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement