Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta pemerintah agar ikut melindungi industri sawit dari isu negatif. Pasalnya, isu-isu negatif tersebut kerap menyebarkan informasi yang menyesatkan lantaran menodai reputasi kelapa sawit itu sendiri.
"Data ilmiah sering kali diabaikan, akibatnya persepsi negatif terhadap minyak sawit makin luas di dalam negeri maupun luar negeri," jelas Ketua Bidang Kampanye Positif Gapki Pusat Edi Suhardi dalam keterangan pers tertulis yang dikutip Warta Ekonomi, Senin (4/11/2024).
Baca Juga: Perisai Prabowo Siap Kawal Biodiesel, Utamakan Kesejahteraan Petani Sawit
Oleh sebab itu, pihaknya meminta sekaligus mendesak pemerintah untuk melindungi industri sawit nasional dari berbagai kampanye negatif yang menerpa.
Selain itu, untuk membela sawit serta menangkal kampanye negatif yang menyangkut industri sawit, pihaknya juga mengajak generasi milenial serta Gen Z untuk berkecimpung secara aktif dalam kampanye positif terhadap sawit.
Adapun caranya yakni dengan menyampaikan fakta dan data yang benar. Kampanye juga harus berbasis akal sehat dengan membandingkan informasi yang benar serta salah, kemudian mengklarifikasi berbagai isu yang kerap menjadi salah arti.
Tak hanya itu, dia juga menilai jika pemerintah harus berperan aktif dalam melindungi industri sawit sebagai salah satu pilar perekonomian nasional. Pasalnya, industri sawit telah menjadi tumpuan sumber pendapatan bagi 16,2 juta tenaga kerja baik di sektor perkebunan sawit maupun industri hilir dan pendukung lainnya.
Pada tahun 2023 lalu, melalui minyak sawit sebagai biodiesel, Indonesia bahkan mampu menghemat devisa untuk mengimpor minyak bumi sebesar US 7,92 miliar dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp120,8 triliun.
Bahkan, dia menyambung, minyak sawit Indonesia saat ini sudah diekspor ke lebih dari 160 negara di dunia serta penggunaannya sudah meluas. Pada tahun 2022 pun, penerimaan devisa ekspor dari industri sawit menyentuh angka 39 miliar dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp600 triliun.
"Pada 2023 sekitar 30 miliar dolar Amerika Serikat, turun dari penerimaan devisa 2023. Karena harga minyak sawit 2023 relatif lebih rendah dari 2022," katanya.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa upaya terkoordinasi sedang dilakukan untuk mendiskreditkan minyak sawit dan hal tersebut telah membuahkan hasil dengan diberlakukannya peraturan yang lebih ketat di Uni Eropa. Misalnya, EUDR yang dianggap membatasi penggunaan minyak sawit yang merugikan para petani maupun industri kelapa sawit Indonesia sendiri.
Baca Juga: Kementan Yakin Stok Kelapa Sawit Cukup untuk Wujudkan Ambisi Swasembada Energi Prabowo
Edi menjelaskan bahwa gerakan anti minyak sawit kerap mengabaikan keseimbangan perlindungan lingkungan maupun pembangunan ekonomi. Padahal, industri sawit sendiri terus berupaya untuk menerapkan praktik berkelanjutan serta berusaha untuk memenuhi berbagai standar internasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement