Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indonesia Mesti Lirik Tandan Kosong Sawit, Bisa Jadi Bioethanol Hingga Ragi Kering

Indonesia Mesti Lirik Tandan Kosong Sawit, Bisa Jadi Bioethanol Hingga Ragi Kering Petugas mengoperasikan mesin uap pabrik mini minyak goreng (Pamigo) saat pameran Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan (Penas-KTNA) XVI, di Lanud Sutan Sjahrir Padang, Sumatera Barat, Minggu (11/6/2023). Pamigo merupakan teknologi dengan inovasi yang menghadirkan pengolahan sawit dari buah segar hingga produk minyak goreng sehingga menjadi solusi bagi peningkatan kesejahteraan pekebun sawit rakyat. | Kredit Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengurangan penggunaan bahan bakar fosil serta peningkatan pemanfaatan energi terbarukan menjadi salah satu langkah penting dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Adapun salah satu contoh keberhasilan upaya tersebut yakni program proalcool di Brazil yang mana 92% kendaraan sudah menggunakan bahan bakar etanol.

Penerapan biodiesel di Indonesia juga sudah mulai berkembang seiring dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2006 yang mendukung penggunaan biodiesel pada kendaraan bermotor. Di Indonesia, produksi biodiesel mengalami peningkatan pesat mencapai 12,7 juta kiloliter pada tahun 2023 lalu.

Baca Juga: SGN dan Pertamina NRE Bakal Bangun Pabrik Bioetanol di Banyuwangi

Dalam memperluas penggunaannya, pemerintah memberikan langkah cerdas seperti pemberian insentif kepada produsen biodiesel. Tujuannya yakni menutup selisih harga antara biodiesel dan minyak solar.

Akan tetapi, pemanfaatan bahan bakar terbarukan akhirnya memunculkan masalah baru. Yakni sumber pangan yang dipakai sebagai alternatif bahan baku energi. Hal itu menimbulkan kekhawatiran bakal berkurangnya pasokan pangan yang dibutuhkan oleh manusia. Maka dari itu, diperlukan alternatif bahan baku lain yang dapat dijadikan bahan bakar terbarukan tanpa mengorbankan keberlangsungan pasokan pangan.

Dalam keterangannya, Guru Besar Institute Teknologi Bandung (ITB), Ronny Purwadi dari Fakultas Teknologi Industri lantas menawarkan lignoselulosa sebagai bahan baku alternatif untuk mengatasi masalah itu.

Adapun yang dimaksud lignoselulosa merupakan bahan yang melimpah serta tersebar luas di seluruh dunia dalam bentuk dinding sel tanaman yang dapat diperoleh dari berbagai limbah. Misalnya limbah industri, perkebunan, hingga pertanian.

"Pada tahun 2023, Indonesia memproduksi sekitar 48 juta ton minyak sawit mentah (CPO) yang meninggalkan sekitar 120 juta ton limbah berupa tandan kosong sawit yang merupakan sumber lignoselulosa. Selain itu, sumber lignoselulosa lainnya termasuk bongkol jagung, jerami padi, dan limbah dari industri kayu," sebut Ronny dalam keterangan resmi Humas ITB dikutip Selasa (12/11/2024).

Baca Juga: Pakar Ungkap Tiga Kunci Wujudkan Tata Kelola Sawit Berkelanjutan

Lignoselulosa sendiri merupakan material kompleks yang terdiri atas tiga komponen utama, yaitu hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Ronny menjelaskan bahwa lignoselulosa memiliki potensi yang cukup besar di Indonesia. 

“Padi adalah sumber lignoselulosa terbesar. Namun, padi terdapat di sawah sehingga membutuhkan ongkos utilisasi yang sangat besar. Lain halnya dengan tandan kosong sawit yang sudah terkumpul di pabrik dan tinggal dimanfaatkan saja,” paparnya.

Dirinya menjelaskan proses pengolahan lignoselulosa di ITB. Pada mulanya, proses tersebut diawali dengan kerja sama antara Program Studi Teknik Kimia dengan PT Rekayasa Industri. Tujuan utama dari kerja sama tersebut tak lain adalah menciptakan lisensi proses pengolahan bahan lignoselulosa menjadi etanol sebagai bahan bakar.

Baca Juga: GAPKI: Eropa Bakal Tetap Membutuhkan Sawit

Melalui pengalaman serta ilmu yang didapatkan selama proses uji coba di sana, kemudian diterapkan dalam pabrik fraksionasi lignoselulosa. Pabrik tersebut merupakan hasil kerja sama antara ITB, Balai Besar Standarisasi Pelayanan Jasa Industri Agro Kemenperin RI, dan PT Rekayasa Industri. Pabrik ini pun diresmikan pada 8 Agustus 2024 silam.

Pabrik ini merupakan buah dari perjalanan kerja sama penelitian yang panjang. Berbagai detail permasalahan masih harus diselesaikan, serta bagaimana implementasi teknologi ini pada skala komersial.

Adapun produk turunan lignoselulosa yang dihasilkan meliputi bioethanol sebagai bahan bakar terbarukan, biobutanol berfungsi sebagai pelarut dan bahan bakar terbarukan, sementara ragi kering berfungsi sebagai pengembang roti dan bahan tambahan pangan. Dan terakhir asam sitrat yang digunakan sebagai aditif pangan.

"Kesimpulannya, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan lignoselulosa dari sektor perkebunan dan pertanian, yang dapat diubah menjadi berbagai produk bernilai tinggi," tuturnya.

Dengan memanfaatkan lignoselulosa sebagai sumber bahan bakar, katanya, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, meningkatkan daya saing industri hijau, serta menciptakan lapangan kerja baru.

Baca Juga: Ketar-ketir, Importir Bersiap Hadapi Mengecilnya Pasokan Sawit Indonesia

"Selain itu, pengembangan ekonomi sirkular dan kemakmuran bangsa akan semakin terdukung. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan bahan bakar dari lignoselulosa agar Indonesia tidak tertinggal. Peran pemerintah dalam menciptakan regulasi yang mendukung percepatan pengembangan ini juga menjadi faktor kunci," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: