Industri Petrokimia Perlu Perhatian Pemerintah, Investasi Triliunan Perlu Kepastian Regulasi
Industri petrokimia memilikiperan penting dalam menopang sektor hulu manufaktur RI. Pasalnya produk kimia yang dihasilkan dapat diolah berbagaiindustri, seperti plastik, tekstil, farmasi, kosmetik, dan obat-obatan. Namun kalangan pelaku usaha menilai ada berbagai halyang menjadi pekerjaan rumah industri ini.
Ketua Komisi Tetap Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Achmad Widjaja, Jumat (6/12/2024). mengatakanbahwa peran swasta penting dalam pengembangan industri hulunamun sulit bergerak karena terlalu banyak kebijakan yang tidakmendukung. Contohnya investasi dari luar seperti Lotte Group yang memerlukan waktu panjang sebelum akhirnya masuk kedalam negeri.
“Seperti Lotte kan sampai makan waktu berapa tahun itu. Hal inimenjadi koreksi pemerintah,” kata Achmad. Demi menarikinvestor lain untuk bisa masuk ke pasar dalam negeri, makapemerintah harus bisa memberikan paket kebijakan yang menarik, diantaranya dengan tax holiday panjang mengingatindustri petrokimia memerlukan investasi yang besar. Pasalnyauntuk membangun pabriknya saja memerlukan waktu minimal 3 tahun.
Baca Juga: Industri Petrokimia Indonesia Terjepit, Maraknya Impor Memukul Produksi Lokal
“Nah itu harus dibebasin pajak lah yang paling penting. Investasi tax holiday-nya 20 tahun. Kalau nggak kan nggak bisaorang investasi. 20 tahun minimum seperti di Vietnam. Kita kalah sama Vietnam sama Malaysia karena memang merekakasih minimum 20 tahun. Petrochemical kan sekali investasiumpamanya USD 20 miliar gitu lho,” kata Achmad Widjaja.
Investasi dari industri petrokimia bisa membuat RI menatappertumbuhan ekonomi 8% sesuai cita-cita Presiden Prabowo Subianto. Namun, pemerintah perlu menciptakan iklim investasiyang kondusif agar industri bisa semakin ekspansif.
“Untuk mencapai 8% caranya cuma satu. 5% itu kan sudahdiberikan secara cuma-cuma sejak covid tidak pernah turun, yaitu kontribusi industri primer, tambang dan lain-lain. 3% itupemerintah cukup menjaga iklim pengolahan industri. Untukmenjaga iklim perekonomian yang menuju 8%, 3% itu industrisekunder menjadi kontribusi dari industrialisasi pengolahan. Untuk itu jangan terlalu banyak mengeluarkan peraturan-peraturan baru atau Kepmen-Kepmen atau kebijakan baru,” sebut Achmad Widjaja.
Ia juga menilai industri petrokimia RI bergantung pada kondisiminyak dan gas bumi sebagai bahan baku utama. Untukmenjalankan arah industri yang lebih terukur, maka peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina juga sangatlahpenting, utamanya dalam mengelola industri di sisi hulu demi menjalankan Refinery Development Master Plan (RDMP).
“Sejak demokrasi, belum pernah ada BUMN-BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan penanaman modal dalam negeri dengan full hulunya, terutama di Pertamina. Integrated plan-nya yang disebut RDMP kan. RDMP itu tidakberjalan, kilang tidak jalan, semuanya nggak jalan. BUMN-BUMN itu bisa ditugaskan, seperti contoh Pertamina, ditugaskan total untuk menjadi bagian daripada penyertaanpemerintah melakukan revolusi industri di dalam hulu,” kata Achmad Widjaja.
Tidak ketinggalan, Ketua Komisi Tetap Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hari Supriyadi menilai salah satu regulasi yang diperlukan dunia usaha saat ini ialah keberlanjutan yang jelasdari investasi petrokimia, misalnya kontrak jangka panjanguntuk gas.
“Dan kita kontraknya itu jangan pendek-pendek. Gimana kitabisa hilirisasi, gimana kita bisa ekspansi? Kontrak gas itu cumalima tahun, nggak bisa. Karena industri petrochemical kanhidupnya harus 20 tahun, investasinya triliunan,” sebut Hari yang juga Ketua Umum Asosiasi Industri Penghasil PetrokimiaIndonesia.
Selain persoalan kontrak, perlu juga harga gas bumi tertentu(HGBT) yang rata pada semua pelaku industri petrokimia. Sayangnya, tidak semuanya merasakan kebijakan ini, yakni US$ 6 per MMBTU. Padahal, industri petrokimia masuk ke dalam 7 sektor prioritas.“Atau bahkan bisa lebih rendah lagi dari US$ 6 per MMBTU. Dan semua industri no one left behind, sekarangkan di pilih-pilih, dipilih-pilih yang tertentu. Harusnyasemuanya kami udah dapat rekomendasi dari perindustrian tapidi ESDM tidak di eksekusi. Ada ratusan perusahaan yang sudahdirekomendasikan tapi tidak dapat, meskipun masuk 7 sektor, tapi nggak bisa dieksekusi ESDM,” sebut Hari.
Baca Juga: Hadapi Ancaman Produk Impor, Industri Petrokimia Harus Diselamatkan Demi Stabilitas Ekonomi
Jika industri petrokimia bisa berlari kencang, maka semakinbanyak lapangan pekerjaan yang terbuka. Saat ini di perusahaanbesar industri petrokimia bisa menampung ribuan pekerjaan, termasuk yang terikat dalam rantai pasok.
“Kalau kita tidak bisa terutilisasi 100%, makin turun, ya,otomatis sejalan dengan tenaga kerja. Meskipun industripetrokimia bukan padat karya tetapi tetap akan mempengaruhi. Karena industri petrokimia tetap ada rantai pasoknya, adavendor-vendor kecil. Kalau kita menurun kan mereka juga akanmenurun. Jelas berdampak. Jadi rantai pasok yang mungkinterdampak tuh sampai ribuan orang juga,” sebut Hari.
Sementara itu, Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin WiwikPudjiastuti menyampaikan pemerintah terus mengupayakanstrategi agar situasi industri petrokimia bisa lebih kondusif. Untuk memantau produk impor, misalnya, pemerintah tengahmematangkan instrumen neraca komoditas.
Sistem tersebut diperlukan lantaran produk petrokimia dan turunannya masih didominasi produk impor. Padahal, industripetrokimia dalam negeri tengah berjuang memperkuat rantaipasok produksi.
Dalam catatan Kemenperin, produk petrokimia nasionalmeliputi olefin memiliki kapasitas produksi mencapai 9,72 jutaton, sementara produk aromatik 4,61 juta ton, dan produk C1 metanol dan turunannya sebesar 980.000 ton.
"Untuk penguatan struktur industri, yang perlu memang untukpenguatan salah satunya adalah melakukan integrasi industrihulu dan hilir," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement