- Home
- /
- Kabar Sawit
- /
- Komunitas
Menguak Ketidakadilan Buruh Sawit: TPOLS Desak Reformasi untuk Industri Berkelanjutan
Solidaritas Transnasional Buruh Sawit atau Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network (TPOLS) mengungkapkan bahwa industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih diwarnai oleh praktik eksploitatif serta rawan tantangan terhadap buruh.
Dalam laporan akhir tahun, TPOLS menyoroti kondisi buruh kebun sawit dan dampaknya terhadap masyarakat sekitar. TPOLS menilai jika di perkebunan sawit, struktur kerjanya hingga kini masih mengadopsi beberapa pola lama yang merupakan warisan dari kolonialisme. Misalnya pemakaian istilah Komidel maupun Afdeling.
Kendati sektor kelapa sawit banyak menyerap tenaga kerja, namun TPOLS menilai jika buruh perkebunan sawit kerap menghadapi ketidakadilan, salah satunya upah rendah dan kondisi kerja yang buruk.
Koordinator TPOLS, Rizal Assalam, menjabarkan temuan dari pihaknya yang menjelaskan bahwa ada enam masalah utama yang terjadi sepanjang tahun 2024 ini. Di antaranya adalah upah rendah dan kondisi kerja buruk, eksploitasi gender dan kondisi kerja berbahaya, manipulasi sertifikasi RSPO dan audit.
Baca Juga: KPBI: Buruh Sawit Minim Kesejahteraan, Kerusakan Lingkungan, dan Tantangan Regulasi
“Kemudian konflik tanah akibat ekspansi perkebunan, penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan, serta pembatasan kebebasan berserikat,” ungkap Rizal dalam keterangannya yang dikutip Sabtu (28/12/2024).
Selain itu, regulasi nasional seperti Undang-Undang Cipta Kerja juga dinilai makin memperkuat praktik eksploitatif melalui legitimasi hukum atas perekrutan buruh kasual serta sistem upah yang berbasis satuan hasil.
Senada, Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Damar Panca, mengkritik keras UU tersebut lantaran tidak memberikan perlindungan yang memadai kepada para buruh.
"UU Cipta Kerja memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual atau musiman dengan upah satuan hasil dan satuan hari kerja,” ujar Damar.
Sementara itu, Hotler “Zidane” Parsaoran mewakili Sawit Watch, menekankan bahwa di tingkat global, regulasi seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan Corporate Sustainability Due Dilligence Directive (CSDDD), memunculkan serangkaian perdebatan tak berkesudahan.
“Tanpa mekanisme perlindungan buruh yang jelas, regulasi internasional hanya akan memperparah ketimpangan,” terangnya.
Baca Juga: Optimalisasi Lahan Sawit dengan Padi Gogo, Bisa Dukung Swasembada Pangan
Maka dari itu, TPOLS dan Sawit Watch mendesak agar pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit. Pasalnya, menurut Zidane, kebutuhan fisik buruh kebun jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan sektor lain. sementara itu, fasilitas dasar misalnya sanitasi, air bersih dan layanan kesehatan untuk para buruh pun masih minim.
Untuk diketahui, TPOLS sebagai langkah awal, menginisiasi Deklarasi Sambas yang menyerukan keadilan sosial dan ekologi di perkebunan sawit. TPOLS berharap jika deklarasi tersebut bisa menjadi sebuah panduan yang lebih adil. Baik bagi buruh kebun, maupun masyarakat di sekitar kebun itu sendiri.
Transisi menuju industri sawit berkelanjutan memang menuai jalan yang cukup terjal. Pasalnya, untuk mewujudkan semua itu tidak hanya membutuhkan reformasi regulasi saja, melainkan juga komitmen untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, salah satu yang paling krusial adalah buruh atau pekerja di sektor sawit.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement