Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

5 Korporasi Jadi Tersangka Kasus Timah, Pengamat: Pemerintah Harus Perketat Pengawasan

5 Korporasi Jadi Tersangka Kasus Timah, Pengamat: Pemerintah Harus Perketat Pengawasan Kredit Foto: Unsplash/Wesley Tingey
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan lima korporasi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah periode 2015-2022. Kelima perusahaan tersebut adalah PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB, dan CV VIP.

Penetapan ini didasarkan pada dugaan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang disebut mencapai Rp300 triliun. Angka ini dihitung oleh ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, dan diverifikasi oleh auditor investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Namun, nilai kerugian tersebut belum terbukti di pengadilan dan menuai kritik dari sejumlah pakar, termasuk Pengamat Kebijakan Hukum Kehutanan dan Konservasi Universitas Indonesia (UI), Budi Riyanto. Ia menilai bahwa pemerintah, sebagai regulator dan pengawas, juga harus bertanggung jawab.

“Jangan terus pemerintah lepas tangan begitu saja. Korporasi ini memiliki izin resmi dan beroperasi di bawah pengawasan. Jika izinnya masih hidup, itu artinya ada pengawasan,” ujar Budi kepada wartawan, Jumat (3/1/2025).

Budi juga mempertanyakan metode penghitungan kerugian lingkungan yang digunakan. Menurutnya, perhitungan tersebut harus dilakukan secara holistik dan melibatkan otoritas ilmiah yang kompeten seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

“Kerusakan lingkungan tidak bisa dihitung secara parsial. Harus dilihat secara keseluruhan, mulai dari air, tanah, hingga vegetasi. Pendapat individu saja tidak cukup menjadi dasar tuntutan,” tambahnya.

Ahli hukum pertambangan, Abrar Saleng, juga mengkritik langkah Kejagung yang lebih mempersoalkan aktivitas perusahaan tambang dengan izin resmi daripada tambang ilegal.

“Perusahaan yang punya IUP itu memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan dan kewajiban kepada negara. Justru penambang ilegal yang tidak memiliki tanggung jawab ini tidak dipersoalkan,” ungkap Abrar.

Menurutnya, pelanggaran oleh perusahaan tambang berizin biasanya diselesaikan secara administratif, bukan pidana. Ia menekankan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan seharusnya menjadi wewenang polisi atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian ESDM.

“Ahli lingkungan pertanian tidak sepenuhnya relevan dalam menghitung kerugian tambang. Perhitungan kerugian lingkungan di dunia tambang harus dilakukan oleh ahli tambang,” tegas Abrar.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: