Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Utilisasi Hanya 56,5%, Industri Semen Desak Stimulus Pemerintah

Utilisasi Hanya 56,5%, Industri Semen Desak Stimulus Pemerintah Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Industri semen Indonesia menghadapi tantangan berat dengan tingkat utilisasi yang masih rendah di tahun 2024, yaitu hanya 56,5%. Meski demikian, prospek pertumbuhan penjualan di tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai 1-2% untuk pasar domestik, sementara ekspor diperkirakan stabil. Total penjualan semen, baik dalam negeri maupun ekspor, diperkirakan mencapai 77 juta ton dengan tingkat utilisasi industri sebesar 65%.

Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Lilik Unggul Raharjo, menjelaskan bahwa kapasitas terpasang industri semen nasional saat ini mencapai 119 juta ton per tahun. Namun, volume penjualan dalam negeri di tahun 2024 hanya sebesar 64,9 juta ton, turun 0,9% dibandingkan tahun sebelumnya.

“Turunnya penjualan semen lebih banyak disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat pada sektor konstruksi dan mulai melambatnya permintaan semen dari proyek-proyek pemerintah, baik di Jawa maupun wilayah lain, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur,” ujar Lilik dalam keterangannya.

Meski permintaan dalam negeri melemah, ekspor semen dan clinker mencatat pertumbuhan signifikan sebesar 10,4% di tahun 2024 dengan total volume 11,9 juta ton. Permintaan tinggi dari pasar tradisional seperti Bangladesh, Australia, dan Taiwan menjadi pendorong utama.

Baca Juga: Ekonom Desak Pemerintah Sesuaikan Aturan Devisa Hasil Ekspor dengan Sektor Industri

Lilik menyebutkan bahwa ekspor menjadi salah satu solusi untuk mengimbangi rendahnya tingkat utilisasi pabrik. Namun, ketatnya persaingan di kawasan regional, termasuk ASEAN, China, India, dan Pakistan, tetap menjadi tantangan besar bagi pelaku industri.

Dengan tingkat utilisasi ideal yang seharusnya mencapai 85%, ASI mendukung kebijakan moratorium pembangunan pabrik semen baru. Langkah ini diharapkan dapat mencegah persaingan tidak sehat dan memberikan ruang bagi pelaku industri untuk berinvestasi pada inovasi serta mitigasi emisi karbon.

“Moratorium paling tidak diharapkan berjalan selama 10 tahun ke depan, dengan asumsi pertumbuhan 3% setiap tahun,” kata Lilik. Namun, ia menegaskan perlunya payung hukum yang jelas untuk mendukung implementasi kebijakan tersebut dan pengawasan lapangan yang lebih ketat.

Baca Juga: Tanpa HGBT, 7 Sektor Industri Strategis Terancam Gulung Tikar

ASI juga menyuarakan permintaan untuk menunda penerapan kebijakan Zero Over Dimension Over Loading (ODOL)hingga 2028. Menurut Lilik, kesiapan infrastruktur, spesifikasi angkutan baru, dan roadmap transisi perlu dipersiapkan lebih matang agar tidak membebani biaya produksi dan distribusi.

“Penerapan Zero ODOL harus mempertimbangkan kesiapan dari segala aspek dan dilakukan dengan transisi yang jelas,” tambahnya.

Industri semen berharap pemerintah dapat memberikan stimulus ekonomi untuk mendorong proyek-proyek infrastruktur nasional. Selain itu, harmonisasi kebijakan lintas kementerian diperlukan untuk mendukung implementasi dekarbonisasi, termasuk kemudahan perizinan terkait limbah B3 dan energi baru terbarukan.

“Dukungan pemerintah sangat penting agar industri semen dapat bertahan dan berkembang di tengah tantangan global maupun domestik,” pungkas Lilik.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel:

Berita Terkait