Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bahlil Heran Trump Mundur dari Paris Agreement: Dia yang Mulai, Dia yang Akhiri!

Bahlil Heran Trump Mundur dari Paris Agreement: Dia yang Mulai, Dia yang Akhiri! Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Keputusan Amerika Serikat untuk keluar dari Perjanjian Paris memicu dilema bagi negara-negara yang telah menandatangani kesepakatan tersebut, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu kekuatan global dalam isu perubahan iklim, Amerika sebelumnya berperan penting dalam menggerakkan upaya transisi energi dan pengurangan emisi karbon.

Perjanjian Paris yang ditandatangani pada Conference of the Parties (COP) 2015 di Paris bertujuan membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius dibandingkan era pra-industri, dengan upaya lebih lanjut untuk menekan kenaikan hingga 1,5 derajat Celsius. Kesepakatan ini juga mendorong negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT).

Sebagai bagian dari komitmen global tersebut, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris dan menetapkan target Nationally Determined Contribution (NDC). Pemerintah bahkan meningkatkan targetnya melalui enhanced-NDC, dengan komitmen menurunkan emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030.

Namun, langkah Amerika untuk mundur dari perjanjian tersebut menimbulkan pertanyaan besar. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan kegundahannya terhadap keputusan ini.

Baca Juga: Donald Trump Bawa Amerika Tinggalkan Perjanjian Paris, Apa Langkah Indonesia?

"Kalau kita ikuti Paris Agreement, ini saya juga bingung, Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur dari Paris Agreement, padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri. Ini kalau otaknya, kalau pemikirnya, negara yang memikirkan ini aja mundur, masa kita yang ini mau masuk pada jurang itu?" ucap Bahlil di Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Kendati demikian, Bahlil menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada Perjanjian Paris. Pemerintah telah memasukkan target transisi energi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034, dengan proyeksi penambahan kapasitas listrik sebesar 71 gigawatt (GW), di mana 60% di antaranya berasal dari energi terbarukan. Selain itu, Indonesia menargetkan penambahan kapasitas listrik total 443 GW hingga 2060, dengan 79% bersumber dari energi bersih sebagaimana tertuang dalam Rencana Usaha Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

Meski memiliki strategi yang jelas, Bahlil mengakui bahwa Indonesia berada dalam posisi dilematis dalam menjalankan transisi energi di tengah ketidakpastian global.

"Nah, saya jujur untuk mengatakan Bapak-Ibu semua, sebenarnya kita pada posisi yang sangat dilematis untuk mengikuti gendang ini. Ini jujur aja, tidak usah kita tutup-tutupi," ujarnya.

Baca Juga: Jadi Presiden AS, Trump Bakal Hancurkan Ekosistem Industri Mobil EV di Indonesia?

Ia juga menyoroti tantangan besar dalam implementasi energi hijau, terutama dari sisi biaya. Menurutnya, semakin berkurangnya dukungan dari negara-negara besar terhadap transisi energi berpotensi membebani perekonomian masyarakat.

"Yang namanya green energy, costnya pasti lebih mahal. Tapi waktu itu kan kita mau tidak mau harus ikuti konsensus itu dan itu kemudian menjadi satu hal yang harus dilakukan," kata Bahlil.

Sebagai solusi, ia mengusulkan agar energi hijau lebih diarahkan untuk mendukung industri dengan produk bernilai tinggi, bukan hanya untuk konsumsi rumah tangga.

"Jadi dalam pandangan saya, green energy ini cocok untuk membiayai industri-industri yang melahirkan produk yang kemudian harganya bisa kompetitif di pasar global. Tapi kalau kemudian green energy ini kita pakai hanya semata-mata kepentingan konsumsi rumah tangga, maka saya pastikan akan terjadi overcost dan overcost itu cuma dua: membebani rakyat atau subsidi pemerintah. Pertanyaan kita, uang ini sekarang kita mau pakai prioritas untuk apa? Sementara negara lain nggak menaati Paris Agreement," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: