Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Diskusi INDEF: Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industri yang Kuat

Diskusi INDEF: Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industri yang Kuat Kredit Foto: Kemenkop-UKM
Warta Ekonomi, Jakarta -

Institut for Development of Economics and Finance (INDEF) bersama Universitas Paramadina menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industri yang Kuat” pada 27 Februari 2025. 

Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara kunci, yaitu Prof. Ahmad Badawi Saluy (Guru Besar Universitas Paramadina), Muhammad Iksan, Ph.D (Dosen Universitas Paramadina), dan Dr. Ariyo DP Irhamna (Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF). 

Diskusi ini mengupas tuntas tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya dalam mencapai target pertumbuhan 8%, serta peran sektor industri manufaktur sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

Prof. Ahmad Badawi Saluy membuka diskusi dengan memaparkan tren pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus menurun sejak 2011. 

Pada masa pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi bahkan mengalami kontraksi, dan hingga triwulan ke-IV 2024, angka pertumbuhan hanya mencapai 5,03%. Padahal, pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di 2014, pertumbuhan ekonomi masih berada di kisaran 6%. Namun, sejak itu, angka tersebut terus menurun hingga mencapai 5,03% di akhir 2024. 

Selain pertumbuhan ekonomi yang melambat, kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga mengalami penurunan. Target kontribusi industri manufaktur sebesar 19,9%-20,05% pun tidak tercapai dan hanya mencapai 18,98% pada 2024. 

Industri pengolahan, yang seharusnya menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi, juga mengalami pelemahan. Dari total pertumbuhan ekonomi 5,02% pada 2024, hanya 1% yang berasal dari industri pengolahan, disusul oleh sektor perdagangan dengan kontribusi 0,67%.

Lebih lanjut, Prof. Badawi menyoroti bahwa kontribusi manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah mencapai puncaknya pada periode 1999-2001, namun sejak itu terus melemah. Hal ini tercermin dari skor Competitive Industrial Performance (CPI) Index Indonesia yang cenderung menurun dalam lima tahun terakhir. 

Indonesia konsisten berada di peringkat ke-39, di bawah Vietnam (ke-30), Thailand (ke-25), dan Malaysia (ke-20). Salah satu masalah utama industri pengolahan Indonesia adalah ketergantungannya pada sumber daya alam (resource-based). 

Berdasarkan struktur industri pengolahan berdasarkan teknologi, Indonesia masih didominasi oleh industri resource-based (47,4%), sementara industri low-tech (23,9%), medium-tech (24,2%), dan high-tech hanya menyumbang 4,5%. Bandingkan dengan Malaysia, di mana industri high-tech mencapai 43,2%, atau Vietnam dengan 41,1%. 

Thailand juga menunjukkan performa yang lebih baik dengan industri medium-tech sebesar 42,8% dan high-tech 19,4%. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan industri berbasis teknologi tinggi, yang seharusnya menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing global.

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri pengolahan juga belum menunjukkan performa yang optimal. Berdasarkan data Sakernas Agustus 2024, tiga sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,18%), perdagangan besar dan eceran (18,89%), serta industri pengolahan (13,83%). Artinya, industri pengolahan masih kalah dalam menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor pertanian. 

Baca Juga: Peneliti INDEF Soroti Struktur Pengurus Danantara: 'Menteri Akan Diawasi oleh Menteri'

Dr. Ariyo DP Irhamna menambahkan bahwa terdapat kesenjangan pertumbuhan antara sektor tenaga kerja dan industri pengolahan. Padahal, seharusnya industri pengolahan menjadi sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kebijakan yang mendorong labour-intensive industrialization, yaitu industrialisasi yang mampu menyerap tenaga kerja secara optimal.

Selain masalah struktural di sektor industri, Dr. Ariyo juga menyoroti tantangan birokrasi yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Struktur kabinet yang gemuk, dengan banyaknya kementerian dan lembaga, membuat koordinasi dan pengambilan keputusan menjadi lambat. Rapat kabinet seringkali lebih menyerupai seminar nasional daripada forum pengambilan keputusan strategis yang efisien. 

Dr. Ariyo membandingkan kondisi ini dengan tren global di mana banyak negara justru merampingkan kabinet mereka. Contohnya, Argentina pada 2023 memangkas jumlah kementerian dari 21 menjadi hanya 11 untuk memangkas birokrasi dan menyederhanakan pelayanan publik.

Vietnam juga berencana mengurangi jumlah kementerian dari 30 menjadi 21 untuk memperkuat koordinasi dan kinerja kabinet. Sementara itu, Indonesia justru memiliki kabinet yang semakin gemuk, yang diperkirakan membutuhkan waktu dua tahun untuk menyesuaikan peraturan dan nomenklatur.

Dr. Ariyo juga membahas indikator Purchasing Manager Index (PMI) industri manufaktur nasional. Setelah mengalami stagnasi pada 2020 akibat pandemi Covid-19, PMI Indonesia menunjukkan tren meningkat pada 2024, sejalan dengan tren global. Namun, pada 2025, PMI kembali menunjukkan penurunan, yang menjadi sinyal kurang baik bagi industri nasional.

Beberapa sektor industri, seperti tekstil, bahkan terlihat “berdarah-darah” atau mengalami kesulitan serius. Hal ini semakin mempertegas bahwa industri manufaktur Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: INDEF Merekam Gagasan dan Meresmikan Ruang Baca Faisal Basri

Pertumbuhan ekonomi 8% adalah tantangan besar bagi Indonesia tanpa transformasi struktural di sektor industri. Beberapa rekomendasi yang diajukan antara lain: meningkatkan investasi di industri berbasis teknologi tinggi untuk mengurangi ketergantungan pada industri resource-based, merampingkan struktur kabinet untuk meningkatkan efisiensi birokrasi dan pengambilan keputusan, mendorong labour-intensive industrialization agar industri pengolahan dapat menyerap tenaga kerja secara optimal, serta memperkuat koordinasi antar-kementerian dan lembaga untuk merespons isu-isu strategis dengan cepat. 

Tanpa langkah-langkah konkret ini, target pertumbuhan ekonomi 8% akan tetap menjadi mimpi yang sulit diwujudkan. Indonesia membutuhkan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan untuk membangun industri yang kuat dan berdaya saing global.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: