Pasar Modal, Krisis Politik Ekonomi, dan Kebijakan
Oleh: Didik J Rachbini, Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef

Bagaimana membaca harga saham yang jatuh dan terjungkal dalam beberapa hari ini? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab secara ekonomi politik, sebab faktor yang berpengaruh tidak lain adalah faktor ekonomi politik, yakni gabungan dari keduanya: ekonomi dan politik.
Biasanya, pemerintah baru selalu disambut positif oleh pasar karena pemilihan umum sejatinya adalah penyegaran kepemimpinan. Mayoritas rakyat pemilih mendukung pemerintah baru sebagai kerelaan untuk dipimpin oleh pemimpin yang baru. Masalah terjadi kalau di atas kertas formal mayoritas mendukung, tetapi proses demokrasinya penuh tekanan, politik uang, dan penyimpangan politik yang memanipulasi rakyat sehingga tidak benar-benar nyata dukungan riilnya. Namun, politik seperti ini adalah yang maksimal dihasilkan oleh suatu sistem pemerintahan dan rakyatnya, yang kemudian diuji dalam perjalanan kepemimpinan dan pemerintahan baru.
Pasar modal adalah alarm atau wake up call terhadap politik dan kebijakan pemerintah. Hal pertama dan terang benderang, faktor saham yang terjungkal tidak lain adalah faktor politik. Harus dan wajib diingat oleh pemerintah, bahwa pemimpin dan pengambil keputusan lebih dari dua pertiga masalah ekonomi adalah politik. Sebaliknya, masalah terbesar dari politik adalah ekonomi.
Semua analis pasti setuju mengenai IHSG yang terjungkal ini tidak lain karena faktor politik, dimana pasar tidak sreg dan menolak politik ekonomi serta kebijakan yang dilakukan selama ini. Penolakan itu terlihat dari modal yang hengkang dari Indonesia atau memilih instrumen lain yang lebih aman dari pengaruh politik.
Jangan anggap remeh politik TNI, yang diolah dan dimasak oleh segelintir orang di dalam kekuasaan, tidak ada hubungan dengan masalah ekonomi. Demokrasi yang dibangun kembali pada masa reformasi setelah jatuh selama 30 tahun dianggap bisa tergelincir dan menjadi trigger kejatuhan demokrasi ke dalam etatisme, militerisme, dwi fungsi dan hal-hal lain yang merusak masa depan demokrasi. Ekosistem demokrasi sudah rusak semasa Jokowi, dengan harapan bernas lagi dengan kepemimpinan baru, tidak bisa dilihat kembali masa depannya. Faktor ketidakstabilan ini menjadi trigger bagi pasar untuk menolak dan modal pergi ke tempat lain.
Kondisi IHSG sebagai alarm dan termometer yang mengukur kesehatan ekonomi, memperlihatkan kondisi krisis dengan indeks yang terjungkal dari tahun 2004, yaitu 7.163 menjadi 6.146 sekarang, turun lebih dari 11% dalam tiga bulan.
Apa yang menyebabkannya? Selain faktor politik, sudah jelas di depan mata adalah kebijakan ekonomi. Kebijakan pembentukan Danantara yang gegap gempita dan undang-undang yang disulap DPR dalam waktu 7 hari adalah prestasi dan rekor terhebat di dunia, mungkin jug akhirat.
Ide bagus dan padanannya adalah Temasek, dimana saya sebagai ekonom sangat setuju. Namun, ide baik yang dikemas dalam kebijakan asal-asalan dapat menjadi bumerang. Kebijakan ekonomi pembentukan Danantara pun mengais reaksi pasar yang frontal.
Investor asing kabur membawa Rp24 triliun, termasuk Rp3,47 triliun sehari setelah Danantara diresmikan pada tanggal 24 Februari 2025. Apakah proses kebijakan kolektif pemerintah, DPR, kabinet seperti ini tidak diperhatikan? Kesalahan ini harus diperbaiki dengan datang ke pasar, bersahabat dengan pasar, dan tidak lagi merasa kebijakan yang diluncurkan mendadak lalu akan diterima pasar.
Jadi, politik, perilaku pemerintah, dan kebijakan jelas menjadi biang kerok dari pasar menolak. Jika dibiarkan bisa menjadi reaksi yang tidak bisa dimaafkan, “vote of no confidence” terhadap pemerintah. Maka dari itu harus diperbaiki, ramah terhadap pasar, datang kepada pasar dan membuat kebijakan yang propasar.
Sudah sangat jelas bahwa panik itu adalah reaksi terhadap kebijakan dan perilaku pengambil keputusan yang melenceng dan tidak dikehendaki oleh pasar. Faktor politik dan atau kebijakan pemerintah dan atau perilakunya adalah faktor utama dalam hal ini.
Kondisi fiskal dan perilaku kebijakan melenceng, agresif kurang berdasar faktual, defisit anggaran melebar, penerimaan pajak seret, dan banyak lagi program pemerintah yang menimbulkan ketidakpastian pelaku pasar.
Kebijakan terhadap APBN, yang sudah buruk pada pemerintahan sebelumnya, kita melihat dicabik-cabik dengan pola komando, bukan proses demokrasi ekonomi yang transparan, terbuka, dan masuk akal. Ketidakpercayaan terhadap APBN adalah juga penyebab dari ketidakpercayaan pasar terhadap kebijakan pemerintah.
Masalah utang yang dikritik publik selalu mendapat reaksi yang “denials” dan meremehkan masukan-masukan teknokratis dari ekonomi, ahli, dan pengamat. Defisit penerimaan APBN yang diumumkan terlambat juga memperjelas bahwa pengelolaan APBN tidak pruden.
Baca Juga: DPR Tepis Isu IHSG Rontok Gegara APBN Tekor, Pede Bakal Segera Rebound
Faktor APBN dan kebijakan fiskalnya sangat penting dicermati. Faktor ini seratus persen adalah politik dan diputuskan secara politik. Pasar melihat kebijakan fiskal yang sekarang dilihat sebagai faktor yang membahayakan. Prosesnya, perilaku politik kebijakannya dan angka-angka yang keluar dari proses kebijakan tersebut, pasar melihat hal ini sebagai ancaman terhadap stabilitas makroekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar. Investor memilih menarik diri lebih dini daripada menghadapi resiko besar modalnya ambles.
Sumber masalah sangat jelas dan terang benderang, tinggal pemerintah apakah akan membuka diri untuk perbaikan. Jika tidak, dampaknya jelas, kepercayaan pasar akan terus merosot, investor terganggu untuk investasi di Indonesia. Investor, baik asing maupun domestik, akan bersifat menunggu dan tidak akan investasi dulu, yang berarti investasi akan sementara atau berlanjut stagnan. Modal yang ada bisa keluar dan menggerus likuiditas, yang pada gilirannya akan menekan rupiah, menekan nilai tukar rupiah.
Sektor riil, terutama sektor industri untuk program hilirisasi sudah pasti akan mengkerut untuk mendapatkan dana. Akan terjadi keterbatasan akses pendanaan. Emiten yang berencana menggalang dana melalui pasar modal (IPO, rights issue) kemungkinan menunda aksi korporasi karena valuasi yang melemah. Sektor riil tidak akan mendapat kucuran dana yang cukup.
Apakah bisa mencapai pertumbuhan 8 persen seperti janji kampanye? Lupakan dulu mimpi ini, pemerintah perlu bergandengan dan berbaik kebijakan dengan pasar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement