Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Krismon 1998 Apa Bisa Terulang? Begini Prediksi Ekonom Universitas Paramadina

Krismon 1998 Apa Bisa Terulang? Begini Prediksi Ekonom Universitas Paramadina Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengingatkan bahwa kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini sangat dipengaruhi oleh kombinasi faktor global, nasional, dan kondisi spesifik tiap negara.

Dalam kajiannya, Wijayanto menyoroti sejumlah dinamika ekonomi yang perlu diwaspadai oleh pemerintah dan pemangku kepentingan, terutama dalam menghadapi potensi perlambatan ekonomi global.

Salah satu sorotan utama datang dari Amerika Serikat, di mana Elon Musk mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ancaman kebangkrutan fiskal AS.

Diketahui, dalam paparan di hadapan Kongres, Donald Trump bahkan menjanjikan anggaran berimbang (balance budget) guna mencegah kebangkrutan negara tersebut.

Saat ini, utang AS tercatat mencapai USD 36 triliun, dengan perkiraan defisit anggaran sebesar USD 1,2 triliun atau sekitar 6,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Strategi Trump untuk mengatasi masalah fiskal tersebut antara lain dengan menugaskan Elon Musk dengan DOGE-nya untuk memangkas belanja sebesar USD 500 miliar per tahun, serta menaikkan pendapatan negara sebesar USD 700 miliar per tahun melalui peningkatan tarif impor.

Sementara di dalam negeri, tantangan yang akan dihadapi pemerintahan Prabowo tidak kalah serius, seperti ketidakstabilan fiskal, tekanan terhadap nilai tukar rupiah, deindustrialisasi, dan belum optimalnya penciptaan lapangan kerja.

Kondisi ini membuat Indonesia dipandang sebagai negara dengan risiko tinggi. Wijayanto menilai bahwa hingga saat ini pemerintah belum menunjukkan rencana konkret yang realistis dan rasional, serta belum memiliki tim kabinet yang benar-benar solid.

Oleh karena itu, diperlukan kalibrasi atau 'setel ulang' terhadap berbagai program besar agar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan nasional. 

Dalam konteks Pasar Modal, Wijayanto mendorong dilakukannya transformasi dan reformasi yang serius, seperti beberapa kali dilakukan terhadap sektor perbankan nasional.

"Melihat potensinya yang besar bagi upaya mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sudah bukan saatnya lagi Pasar Modal seperti dianaktirikan lagi,” katanya.

Muncul pula kekhawatiran akan potensi krisis seperti yang terjadi pada tahun 1998, namun Wijayanto menegaskan perlunya melihat karakteristik krisis yang berbeda.

Tahun 2025 diperkirakan menjadi masa yang penuh tekanan dari sisi eksternal. Jika krisis benar terjadi, penyebab utamanya bukan berasal dari dalam negeri, tetapi dari luar negeri, dengan dampak yang merata ke seluruh dunia.

Kendati demikian, situasi politik domestik dinilai tetap stabil dan sektor perbankan relatif kuat. Namun, jika tidak ada langkah antisipatif yang tepat, Indonesia bisa saja terdampak skenario krisis mirip subprime mortgage krisis 2010, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. 

"Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan perbaikan kebijakan ekonomi dan melakukan kalibrasi terhadap program-program besar agar lebih sesuai dengan kondisi riil perekonomian Indonesia" tutup Wijayanto.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: