Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lebih Parah dari Krisis 2018, Indonesia akan Rasakan Dampak Tarif Trump di Kuartal II

Lebih Parah dari Krisis 2018, Indonesia akan Rasakan Dampak Tarif Trump di Kuartal II Kredit Foto: Uswah Hasanah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Chief Economist Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, menilai kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap Indonesia akan membawa dampak besar, meskipun efeknya belum sepenuhnya terasa saat ini.

Menurut Rully, Amerika Serikat dan Tiongkok merupakan dua negara tujuan ekspor utama Indonesia yang memegang peran kunci dalam rantai dagang nasional. Ketika hubungan dagang antara kedua negara tersebut terganggu, Indonesia pun akan merasakan dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Kalau ekspor kita ke China terganggu, lalu ekspor China ke AS juga turun, maka efek akumulasinya akan sampai ke kita. Mungkin sekarang belum terlalu terasa, tapi akan mulai kentara di kuartal kedua dan seterusnya,” kata Rully dalam acara Media Day: Safe, Simple, Swift Investing with Confidence and Amid Market Shocks, di Jakarta, Kamis (17/4/2025).

Baca Juga: DPR Minta Masyarakat Jangan Panik soal Tarif Resiprokal Donald Trump

Ia menilai kondisi saat ini jauh lebih signifikan dibandingkan situasi pada 2018, saat Donald Trump pertama kali menerapkan kebijakan proteksionis. Kini, kata dia, Trump terlihat lebih agresif, sementara Tiongkok pun tampak lebih siap menghadapi kemungkinan kembalinya mantan Presiden AS itu ke tampuk kekuasaan.

Rully mengungkapkan bahwa beberapa komoditas bahkan dikenakan tarif hingga 200 persen, dan hal ini berpotensi mengganggu rantai pasok manufaktur di AS maupun Tiongkok.

“Kalau terus-terusan seperti ini, pasti supply chain mereka akan terdampak. Itu bisa menjalar juga ke kita,” ujarnya.

Baca Juga: Powell Pusing Tujuh Keliling Gara-Gara Tarif Trump

Ia juga mencermati adanya lonjakan impor dari AS pada awal tahun, yang kemungkinan besar merupakan langkah antisipatif sebelum tarif benar-benar menekan harga barang. Namun, ia menyebut dampak kebijakan ini baru akan tercermin dalam data ekonomi bulan April dan seterusnya.

“Mungkin sekarang belum terasa di GDP kuartal pertama, tapi kuartal kedua bisa jadi titik balik. Kita akan tahu seberapa besar efeknya,” ujar Rully.

Di tengah ketidakpastian global yang bergerak cepat, ia berharap dalam 90 hari ke depan akan ada titik terang dari proses negosiasi atau penundaan kebijakan tersebut.

“Saya masih berharap ada perkembangan positif. Jangan sampai pasar Indonesia ikut terpukul terlalu dalam,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: